“MANDAR” SEBAGAI IDENTITAS POLITIK
ATAU IDENTITAS BUDAYA?
Tulisan ini saya buat sebagai bentuk kegelisahan melihat kesalahpahaman sejarah di Tanah Mandar yang tercinta ini. kesalahpahaman yang saya maksud adalah paradigma masyarakat dalam memaknai identitas Mandar yang sebenarnya. Saat kuliah dulu, ada yang bertanya waktu saya sedang berincang-bincang dengan beberapa teman menggunakan bahasa mandar "orang mandar ki di'?", saya menjawabnya "iya, orang mandar ka", dia bilang "ohh.. pantasan tidak asing cara ta bicara karena ada temanku juga orang mandar kayak mirip carata bicara". sebenarnya tidak ada yang aneh dari pertanyaan tersebut, akan tetapi saya bertanya-tanya apakah ketika orang-orang berbahasa mandar, mereka disebut orang mandar?. pertanyaan tersebut kemudian berkembang jika saya tidak tahu bahasa mandar tapi saya lahir dan besar di tanah mandar, apakah saya bukan orang mandar?. Untuk lebih memahami tentang identitas Mandar yang sebenarnya, marilah terlebih dahulu menyimak tentang sejarah terbentuknya persekutuan Mandar.
Mandar merupakan nama salah satu suku besar yang mendiami daerah Sulawesi Selatan sebelum memisahkan diri dengan induknya dan membentuk sebuah daerah baru bernama Sulawesi Barat. Cikal bakal penduduk yang mendiami daerah Mandar adalah kelompok-kelompok masyarakat yang masing-masing dipimpin oleh Tomakaka (dapat diartikan sebagai seorang kakak atau orang yang lebih dituakan sehingga diangkat sebagai seorang pemimpin dalam suatu satu tempat).
Mandar merupakan nama salah satu suku besar yang mendiami daerah Sulawesi Selatan sebelum memisahkan diri dengan induknya dan membentuk sebuah daerah baru bernama Sulawesi Barat. Cikal bakal penduduk yang mendiami daerah Mandar adalah kelompok-kelompok masyarakat yang masing-masing dipimpin oleh Tomakaka (dapat diartikan sebagai seorang kakak atau orang yang lebih dituakan sehingga diangkat sebagai seorang pemimpin dalam suatu satu tempat).
Kondisi
kehidupan pada masa Tomakaka memiliki
kebebasan dan kemerdekaannya dalam melaksanakan pemerintahan dan mengatur
masyarakatnya masing-masing. Pemimpin-pemimpin dalam satu tempat memiliki
otonomi dalam membuat aturan atau kebijakan untuk masyarakatnya. Jadi antara
satu tempat dengan tempat lainnya memiliki aturan yang berbeda. Kondisi tersebut sangat
rentan memicu konflik dan dapat mengakibatkan perang antara satu pemimpin kelompok dengan pemimpin lainnya. Peperangan biasanya dilakukan
untuk memperluas kekuasaan demi mendapatkan daerah baru. Perang ini juga
merupakan sebagai ajang unjuk kekuatan kepada kelompok lain untuk
memperlihatkan bahwa kelompoknya lah yang paling kuat. Beberapa pemimpin
kelompok juga menggabungkan kekuatannya agar mereka dapat menaklukkan sebuah
daerah dengan mudah. Konflik dan peperangan ini terjadi di berbagai tempat dan berlangsung
sangat lama sehingga menyebabkan kondisi masyarakat Mandar pada saat itu tidak tentram dan tidak stabil.
Konflik
ini akhirnya berhasil dipadamkan oleh seorang panglima perang dari kerajaan
Gowa yang merupakan putera asli Mandar
bernama I Manyambungi atau yang lebih dikenal dengan nama Todilaling. I Manyambungi menyerang beberapa kelompok masyarakat
yang dianggap telah berbuat onar dan menyebarkan teror. Setelah kondisi aman dan penyebar teror berhasil dikalahkan, I Manyambungi kemudian membentuk sebuah
kerajaan besar yang merupakan gabungan dari beberapa wilayah Tomakaka bernama Kerajaan Balanipa. Kerajaan baru tersebut dipimpin oleh I
Manyambungi.
Setelah
I Manyambungi wafat, ia kemudian
digantikan oleh anaknya yang bernama Tomepayung.
Pada masanya, Tomepayung berhasil
menghimpun kekuatan dengan beberapa kerajaan
di Mandar dalam perjanjian Tammejarra
I yang dilaksanakan di Desa Tammejarra pada tahun 1580. Perjanjian ini dihadiri 6 kerajaan yang mendiami daerah pesisir. pada pertemuan ini, terbentuk sebuah persekutuan politik yang bernama Pitu
Ba’bana Binanga (7 Kerajaan daerah pesisir) dengan tujuan saling
tolong menolong ketika salah satu kerajaan dalam persekutuan tersebut membutuhkan . Di daerah pegunungan,
sebuah konfederasi politik juga terbentuk. 7 kerajaan yang berada di daerah
pegunungan membentuk sebuah konfederasi politik bernama Pitu Ulunna Salu (7 Kerajaan yang berada di hulu sungai).
Setelah
Tomepayung wafat, belau kemudian
digantikan raja selanjutnya yang bernama I
Daetta. Raja sebelumnya telah berhasil menghimpun kekuatan politik yang
sangat besar di daerah pesisir pantai, I
Daetta kemudian berinisiatif untuk membentuk sebuah konfederasi yang lebih besar
lagi bersama dengan 7 kerajaan yang berada di hulu sungai. I Daetta bersama dengan beberapa kerajaan lain yang tergabung dalam
Konfederasi Pitu Ba’bana Binanga
melakukan sebuah perjanjian poltik dengan Konfederasi Pitu Ulunna Salu pada tahun 1610. Perjanjian ini disebut dengan Tammejarra II. Perjanjian ini menyepakati agar kerajaan dari Pitu Ba’bana Binanga dan Pitu Ulunna Salu saling menjaga dari
serangan kerajaan lain di luar wilayah Mandar.
Pitu Ba’bana Binanga menghadang
serangan dari arah pesisir pantai atau laut sedangkan Pitu Ulunna Salu menghadang serangan dari arah gunung atau hulu
sungai.
Kata
Mandar memiliki beberapa arti. Banyak
penggiat sejarah dan budaya yang menafsirkan kata Mandar. Ada yang berpendapat bahwa kata Mandar diambil dari nama sebuah sungai
yang berada di Kerajaan Balanipa. Pendapat lain dikemukakan oleh A.
Syaiful Sinrang (Tokoh Penggiat sejarah di Mandar)
mengatakan bahwa Mandar berarti
Cahaya dan Darwis Hamzah mengatakan bahwa Mandar berasal dari kata Sipamandaq
yaitu saling menguatkan.
Dari
beberapa penjelasan di atas jelas bahwa kata Mandar bukan untuk menyebut sebuah identitas budaya maupun bahasa
melainkan untuk menunjukkan sebuah daerah atau tempat. Daerah atau tempat yang
dimaksud adalah seluruh kerajaan yang tergabung dalam perjanjian Tammejarra II.
Perjalanan sejarah pun mengatakan demikian, perjanjian Tammejarra I dan II
menunjukkan bahwa semua kerajaan harus saling melindungi dan saling menguatkan.
Hal tersebut sama dengan arti kata Mandar
yang saling menguatkan. Jadi identiras Mandar
yang sebenarnya menunjukkan sebuah tempat atau daerah bukan menunjukkan bahasa
atau budaya.
Namun,
banyak masyarakat saat ini yang salah paham mengenai kata Mandar. Menurut sebagian besar masyarakat, kata Mandar dipakai untuk menunjukkan bahasa
maupun budaya. Mereka menganggap orang Mandar
adalah orang yang berbahasa Mandar.
akan tetapi bahasa dan budaya di daerah Mandar
berbeda-beda. Contohnya saja masyarakat yang ada di Mamuju dan Mamasa, mereka
memakai bahasa dan logat yang berbeda dari masyarakat yang ada di daerah Majene.
Menurut penafsiran saya, bahasa Mandar
yang umum digunakan oleh masyarakat Mandar
saat ini berasal dari daerah Balanipa. Seperti yang saya sebutkan tadi, salah
satu asal mula kata Mandar berasal
dari sungai Mandar yang berada di
daerah Balanipa, jadi mereka menyebutnya dengan bahasa Mandar. Arti kata Mandar akan terlalu sempit jika kita memaknai
orang Mandar adalah seseorang yang mampu berbahasa Mandar. Jika memaknainya demikian, mungkin sebagian besar masyarakat tidak mengakui dirinya sebagai orang Mandar
Persatuan
politik di Mandar telah terealisasi
setelah terbentuknya Sulawesi Barat yang daerahnya meliputi bekas wilayah
Konfederasi Tammejarra II. Jadi paradigma masyarakat mengenai kata Mandar harus diubah. Kita harus memahami
arti kata Mandar yang sebenarnya sebagai
identitas politik yang menyatukan seluruh masyarakat dari perbatasan Kabupaten
Polewali Mandar sampai di penghujung Kabupaten Mamuju Utara dalam bingkai kemajemukan.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar