Sabtu, 10 Desember 2016

RENUNGAN 10 NOVEMBER: PAHLAWAN YANG “TERLUPAKAN”


Hj. Maaemunah Djud Pantje
(Pimpinan Kelaskaran GAPRI 5.3.1

Sejarah Perjuangan Bangsa Indonesia tentunya menjadi sebuah peristiwa yang tidak akan pernah habis untuk diperbincangkan dan masih menjadi buah bibir pada era modern ini. Peristiwa tersebut masih sangat seksi untuk menjadi santapan bagi para akademisi khususnya yang bergelut pada kajian sejarahnya. Namun masih banyak kisah yang menjadi sebuah misteri dan pantas untuk di perbincangkan walaupun kejadiannya telah berlangsung berpuluh-puluh tahun silam. Salah satu kisah yang perlu diperbincangkan adalalah mengenai beberapa nama sosok pejuang yang seakan-akan hilang ditenggelamkan oleh beberapa nama pejuang yang mempunyai nama besar dan di elu-elukan sebagai sang pahlawan.

Kisah perjuangan dalam mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia pada rentan waktu 1945-1949 merupakan salah satu babak baru penentu dalam perkembangan sejarah Indonesia. Pertempuran antara pejuang kemerdekaan dengan penjajah (Tentara Belanda dan Tentara Sekutu) yang ingin kembali menancapkan kuku kekuasaannya di Indonesia yang baru saja memproklamirkan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945. Berbagai daerah di penjuru Indonesia mulai berkecamuk. Bentrokan antara pemuda pejuang dengan para serdadu dari negeri asing mulai berlangung dimana-mana.  

Salah satu daerah yang berjuang untuk mengusir penjajah pada saat itu adalah daerah Mandar yang saat itu dikenal dengan Afdeling Mandar. Pejuang yang gagah berani melawan para penjajah ini kemudian menuliskan tinta emas dalam perjuangannya. Salah satu pejuang yang terkenal di daerah Mandar adalah Andi Depu, seorang Mara’dia yang berasal dari Kerajaan Balanipa. Perjuangannya dalam menghadapi para serdadu asing yang ingin menguasai kembali negeri ini menjadi catatan emas dalam karir kepahlawanannya. Wanita yang dijuluki “Srikandi Mandar” ini menjadi pusat perjuangan di Afdeling Mandar khususnya di daerah Tinambung. Perjuangan yang tak kenal lelah telah melambungkan namanya sebagai pejuang kemerdekaan.  Namun ada sedikit cerita tentang kepahlawanan seorang “Srikandi Muda” lainnya yang berasal dari pelosok Majene. Pejuang yang kurang mendapat perhatian dalam penulisan sejarah kemerdekaan di daerah Mandar. Akan tetapi, sejarah telah membuktikan bahwa beliau  memainkan peran yang sangat penting dalam mengusir bangsa penjajah dan berhasil mempertahankan negeri yang baru merdeka ini.

Beberapa nama besar pahlawan telah menenggelamkan beberapa nama kecil pahlawan yang telah berjuang dengan perjuangan yang sama demi kemerdekaan Indonesia. Pahlawan dengan “nama besar” seolah menjadi patokan bahwa hanya merekalah yang pantas untuk diingat, kita tentunya perlu menghargai beberapa dari mereka yang bergelar pahlawan dengan “nama kecil”. Jangan karena nama besar beberapa pahlawan lantas kita melupakan beberapa nama yang patut menjadi panutan. Bukan untuk mendiskreditkan nama besar tersebut tetapi untuk memunculkan nama-nama yang seyogyanya patut untuk di ingat. Jangan sampai nama besar tersebut menenggelamkan beberapa nama kecil yang seharusnya anak cucu kita perlu mengetahuinya dan menjadi pembelajaran di sekolah-sekolah.

Salah satu nama yang mungkin “dilupakan’ yang ingin saya angkat adalah Maemunah sang Pempimpin Kelaskaran GAPRI 5.3.1 (Gabungan Pemberontak Republik Indonesia Kode 5.3.1) yang berpusat di Baruga, Majene. beliau mempunyai nama lengkap Hj. Siti Maemunah, lahir pada tahun 1916 di Baruga, Kabupaten Majene. Beliau tidak berasal dari keluarga kerajaan maupun bangsawan, beliau berasal dari keluarga petani kecil yang hidup dengan mengandalkan hasil dari kebun. Masa kecil Maemunah penuh perjuangan. Wanita kala itu mempunyai kedudukan di bawah naungan laki-laki baik status maupun peran dalam masyarakat, namun walaupun sebagai seorang wanita, Maemunah mempunyai pemikiran yang sangat luas. Baginya seorang wanita tidak harus hanya berada di rumah untuk membuatkan sarapan maupun menyiapkan makanan bagi kaum pria. Beliau menganggap bahwa tidak hanya kaum pria saja yang boleh menempuh pendidikan dan mendapatkan peran dan status di dalam masyarakat. Oleh sebab itu Maemunah memilih untuk bersekolah di Kota Majene. Pada saat matahari belum nampak, Setiap selesai shalat subuh, Maemunah selalu bersiap untuk berangkat ke sekolah dari Kampung Baruga menuju Kota Majene. Perjalanan yang sangat panjang tersebut harus dilaluinya demi mendapatkan pendidikan yang layak. Perjalanan yang dilalui oleh wanita muda tersebut penuh dengan resiko karena pada saat itu keamanan belum stabil apalagi beliau adalah seorang wanita yang rentan terhadap kejahatan. Pemikiran Maemunah pada saat itu bisa dikatakan telah melebihi pemikiran dari teman-teman sebayanya. Memaunah memiliki pemikiran nasionalisme yang luas yang mengakibatkan beliau selalu ikut dalam beberapa diskusi organisasi kemerdekaan. Jiwa nasionalisme yang kuat memanggil hati nurani beliau untuk turut serta dalam perjuangan melawan penjajahan.

Keberadaan Maemunah dalam perkembangan sejarah perjuangan di Mandar sangat signifikan karena Maemunah berhasil membawa Kelaskaran GAPRI 5.3.1 menjadi salah satu kelaskaran yang sangat dibenci oleh Tentara Belanda pada saat itu. Maemunah dalam Kelaskaran GAPRI 5.3.1 bertugas untuk mengatur strategi perjuangan agar terorganisir dalam melaksanakan setiap aksinya. Alhasil, setiap pergerakan para pejuang GAPRI 5.3.1 menjadi sangat terorganisir dan sangat susah dihentikan. Rumah beliau juga di jadikan sebagai markas pusat untuk mengatur setiap strategi perang serta dijadikan sebagai tempat bagi para pejuang untuk beristirahat. Setiap aksi dan tindakan para pejuang tidak lepas dari peran beliau. Menurut catatan sejarah, Maemunah tidak pernah melakukan pertempuran secara langsung dengan mengangkat senjata walaupun tidak terlibat dalam pertempuran langsung, namun Maemunah telah menyumbangkan pemikiran dengan  berperan pada pengaturan strategi perjuangan Kelaskaran GAPRI 5.3.1.

Pahlawan seharusnya dihormati sebagai seseorang yang telah mengorbankan jiwa dan raganya untuk membebaskan negeri ini dari penjajahan. Akan tetapi penghormatan tersebut janganlah pilih kasih. Nasib Maemunah sebagai pahlawan lokal Mandar begitu memprihatinkan. Situs sejarah perjuangan yang ada di Baruga yang menjadi saksi kehebatan para pejuang GAPRI 5.3.1 menjadi terbengkalai tak terawat. Tugu yang harusnya menjadi pengingat bahwa di tempat tersebut telah terjadi peristiwa sejarah yang penting menjadi tak dipedulikan lagi. Makam Memunah yang seharusnya ditempatkan sejajar dengan makam pahlawan lainnya kini terbengkalai di Pekuburan Umum Dadi Makassar tanpa ada yang merawatnya. Sungguh kejam negeri ini dalam menghargai jasa para pahlawannya.

Presiden Soekarno pernah berkata bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai para pahlawan-pahlawannya. Kita tentunya generasi muda ingin mengetahui siapa-siapa saja pahlawan yang menyelamatkan negeri kita ini dari penjajahan. Jangan dengan hanya satu nama besar pahlawan kemudian kita melupakan beberapa pahlawan lainnya. Jangan sampai pahlawan-pahlawan dengan nama kecil ini hanya diketahui oleh mereka yang bergelut dalam bidang sejarah. Tentunya besar harapan saya agar beberapa pahlawan dengan nama kecil tersebut diketahui oleh generasi muda agar menjadi sebuah pedoman bagi mereka. kisah ini mungkin hanya segelintir dari sekian banyak kisah pahlawan dengan nama yang tak diperhatikan oleh generasi saat ini. Semoga para generasi muda saat ini  tak hanya memperhatikan pahlawan dengan nama besar saja, beberapa pahlwan yang memiliki kontribusi besar dalam perjuangannya tentunya pantas mendapatkan apresiasi yang sama. 

Tidak ada komentar :

Posting Komentar