BAB I
PENDAHULUAN
A.LATAR BELAKANG
Berabad-abad
lamanya wilayah yang termasuk kawasan Indonesia hidup terpecah belah dalam
status kerajaan sektoral yang tidak pernah akur satu sama lainnya. Hingga
datangnya bangsa bangsa-bangsa penjajah, bangsa yang hidup terpecah belah ini
dengan sangat mudah berhasil ditaklukkan dan dikuasai satu demi satu kerajaan membuat
bangsa Indonesia menderita, barulah pada tahun 1908 timbul kesadaran untuk
bersatu yang dikenal dengan istilah kesadaran nasional. Dalam tahun ini, mulai
tumbuh dalam jiwa bangsa Indonesia kesadaran dan semangat untuk bersatu melawan
Belanda hingga terjadi beberapa pemberontakan di berbagai wilayah yang ada di
indonesia.
17 Agustus 1945 merupakan
puncak perlawanan bangsa Indonesia dengan ditandai pembacaan proklamasi
kemerdekaan oleh Soekarno-Hatta yang membuat jutaan rakyat Indonesia menyambut
dengan hati gembira termasuk di daerah Mandar yang kini dikenal dengan provinsi
Sulawesi Barat.
Perjuangan bangsa Indonesia
dalam mewujudkan negara Republik Indonesia sebagai suatu bangsa yang merdeka
dan berdaulat, berdasarkan proklamasi kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945
ternyata tidak semudah membalikkan telapak tangan. Sebab, pemerintah Belanda
bukan saja menolak memberikan pengakuan kepada bangsa Indonesia yang telah
menyatakan kemerdekaannya, akan tetapi juga berusaha untuk memulihkan kembali
pengaruh dan kedudukan kekuasaan pemerintah kolonial Belanda di wilayah bekas
jajahannya (Hindia Belanda). Hal ini berkaitan dengan sikap sekutu yang tampil
sebagai pemenang dalam perang dunia ke II, yang tidak mengakui sepenuhnya
proklamasi kemerdekaan dan pemerintah Republik Indonesia. semua ini terjadi sebagai akibat dari proses
persiapan kemerdekaan Republik Indonesia yang mendapat dukungan dari Jepang,
dan proklamasi kemerdekaan serta penyelenggara pemerintah Republik Indonesia merupakan
tokoh-tokoh yang teribat kerjasama dengan pihak Jepang. Tambahan pula bahwa
perumusan pembenukan negara yang dilaksanakan oleh PPKI mrupakan wadah ciptaan
pemerintah militer Jepang. Itulah sebabnya pihak Inggris dan Australia yang
mewakili sekutu untuk menyelesaikan persoalan di Indonesia, tampaknya
membenarkan keinginan NICA yang hendak memulihkan kembali pengaruh
dan kedudukan kekuasaan pemerintah kolonial Belanda di Indonesia. [2]
Kembalinya Belanda
menjajah Indonesia didasarkan pada hasil konferensi Postdam yang diadakan pada 17 Juni sampai 2 Agustus 1945 yang melahirkan delapan keputusan yang
antara lain pada butir keenam yaitu memperbarui/mengembalikan pemerintahan
sendiri dan pendidikan untuk mencapai cita-cita demokrasi. Disamping perjanjian
Postdam, pada tanggal 24 Agustus di
Chequers dekat kota London, lahir pula suatu perjanjian Civil Affair Agrement. Landasan perjanjian ini adalah merupakan
kerjasama antara Inggris dan Belanda, dalam rangka usaha Belanda untuk menjajah
kembali Indonesia. Dalam perjanjian tersebut Inggris memberikan wewenang
sepenuhnya kepada Belanda untuk mengatur Indonesia.[3]
Berdasarkan pada
perjanjian tersebut, pada bulan September 1945 pasukan Sekutu (Inggris dan Australia)
yang ikut pula membonceng tentara NICA mendarat di kota-kota besar seluruh Indonesia.
Awal kedatangan NICA disambut baik oleh rakyat Indonesia. Namun hal ini tidak
berlangsung lama setelah NICA secara terang-terangan hendak menegakkan kembali
pemerintahannya di Indonesia dan sikap Inggris yang tidak menghargai kedaulatan
bangsa Indonesia baik pemimpin nasional maupun lokal. Keinginan Belanda untuk
menanamkan kembali kekuasannya di Indonesia berdampak besar terhadap kehidupan
rakyat. Pergolakan terjadi dimana-mana hampir di seluruh pelosok nusantara baik
itu perjuangan secara fisik maupun perjuangan secara diplomasi.
Tentara Sekutu yang
bertugas menduduki daerah Sulawesi Selatan, diwakili oleh kesatuan dari Brigade
ke-21 dan mulai mendarat di Kota Makassar pada tanggal 21 September 1945
dibawah pimpinan Brigjen Iwan Dougherty.
Bersama tentara Australia turut membonceng pula tentara Belanda, NICA di bawah
pimpinan Mayor J.G Wegner. Kedatangan
Sekutu di Makassar diterima baik sebagai perwujudan dari pembicaraan sebelumnya
yang dilakukan oleh Gubernur dan wakil pemerintah Indonesia di Sulawesi (Dr. Ratulangi) dengan wakil dari Sekutu
yaitu Mayor Gibson. Namun, dalam kenyataannya tentara Sekutu tidak
konsekuen (sesuai pembicaraan sebelumnya) dalam melaksanakan tugas. Kedatangan
di Makassar bukan saja dalam rangka melucuti senjata tentara Jepang dan
memelihara ketertiban dan keamanan, tetapi lebih jauh bertindak membantu Belanda
untuk mengembalikan kekuasannya di daerah Sulawesi Selatan yaitu dengan cara
diam-diam mempersenjatai bekas tawanan perang Belanda dan KNIL yang sudah
dibebaskan dari tawanan Jepang.[4]
Berita tentang pendaratan
Sekutu yang mengikutsertakan NICA serta dengan diam-diam membantu pihak Belanda
untuk mengembalikan kekuasaannya, diketahui juga oleh para tokoh-tokoh pejuang
pergerakan di daerah Polmas[5]. Hal
ini disebabkan karena pejuang pergerakan selalu mengadakan kontak atau hubungan
komunikasi dengan tokoh-tokoh pejuang lainnya yang berada di Makassar.
Disaat-saat nyata kembalinya Belanda hendak menjajah Indonesia lewat tentara
Sekutu, maka para tokoh dan pemuda setempat secara terang-terangan pula segera
mempersatukan massa dalam suatu wadah organisasi perjuangan.
Afdeling Mandar pada
perang kemerdekaan merupakan sebutan bagi 3 afdeling tingkat II yang ada di Sulawesi
Selatan yaitu afdeling Polewali, afdeling, Majene, dan afdeling mamuju. Di Majene,
berita mengenai kemerdekaan Republik Indonesia didengar melalui siaran radio
pada 20 Agustus 1945.[6] Mulai
saat itu, para pemuda pejuang di daerah Majene bertekad untuk terus menegakkan,
membela, dan mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia yang telah
diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945. Untuk itu, maka para pemuda
pejuang mendirikan berbagai oganisasi perjuangan.
Ada ciri khas yang
membedakan perjuangan di daerah Mandar dengan daerah lain yang ada di Indonesia
terkhusus di daerah Majene yaitu keterlibatan wanita dalam mempertahankan
kemerdekaan dan menjadi tokoh sentral perjuangan.
Satu wanita diantara
beberapa wanita yang menjadi tokoh sentral dalam perjuangan mempertahankan
kemerdekaan di Majene adalah Hj. Maemunah yang menjadi pemimpin Kelaskaran
GAPRI 5.3.1. bersama dengan suaminya yang bernama H. Muh. Djud Pantje, Hj.
Maemunah menjadi pimpinan suatu Kelaskaran terbesar yang ada di Majene yang
bertugas dibidang keamanan dan pertahanan dalam rangka perjuangan menegakkan
dan mempertahankan kemerdekaan Republik indonesia.
Hj. Maemunah merupakan
pahlawan yang secara terang-terangan berani menentang Belanda. Ia adalah sosok
wanita yang beberapa kali lolos dari maut walaupun beberapa kali
tertangkap dan disiksa di tahanan. Ia
benar-benar mengabdikan dirinya untuk bangsa dan negara pada saat usianya masih
muda. Pada saat jadi guru di Bababulo, ia rela meninggalkan tugasnya sebagai
guru untuk ikut bergabung dan menjadi pemimpin salah satu organisasi pergerakan
terbesar yang ada di Majene saat itu.
Dalam melaksanakan
tugasnya ia tekun dan bertanggung jawab bahkan ikut serta melakukan
gerakan-gerakan rahasia bersama rekan seperjuangannya di GAPRI 5.3.1. para
pejuang kemerdekaan telah mengikuti keberadaannya sebagai pejuang revolusi
terbukti adanya pemberian tanda-tanda jasa oleh negara yang menjadikannya
sebagai pahlawan nasional
Berdasarkan dengan latar belakang diatas,
maka penulis tertarik untuk mengangkat tentang “Peranan Hj. Maemunah Dalam
Mempertahankan Kemerdekaan di Mandar 1945-1950”. peristiwa tersebut diangkat sebagai topik atau fokus
studi karena peristiwa tersebut bukanlah suatu hal yang disengaja untuk
dilibatkan dalam sebuah konflik, akan tetapi peristiwa tersebut lahir karena dilatar belakangi oleh beberapa faktor.
B.RUMUSAN
MASALAH
Berdasarkan dari deskripsi singkat yang terdapat dalam latar belakang
yang telah dikemukakan pada bab sebelumnya diatas maka penjabaran permasalahan tersebut akan dituangkan dalam
pertanyaan – pertanyaan utama sebagai berikut:
1.
Bagaimana Latar Belakang Kedatangan Tentara Sekutu di Daerah
Mandar?
2.
Bagaimana Sejarah Terbentuknya Kelaskaran di Mandar?
3.
Bagaimana Keterlibatan Hj. Maemunah Dalam Kelaskaran GAPRI
5.3.1?
4. Bagaimana Peran dan Usaha Hj. Maemunah Dalam Mempertahankan
Kemerdekaan di Daerah Mandar?
C.BATASAN
MASALAH
Berdasarkan dengan rumusan masalah, maka ruang
lingkup permasalahan penelitian ini dibatasi baik tematis, spasial maupun
temporal. Hal ini merujuk pada cakupan masalah dalam makalah ini, yang cukup
kompleks dan agar penulisan ini lebih fokus pada titik persoalan sehingga dapat
menjawab substansi permasalahan secara jelas.
Untuk menghindari meluasnya ruang lingkup
pembahasan pada penelitian ini maka secara tematis makalah ini dimulai pada
saat kedatangan tentara Sekutu kedaerah Mandar, terbentuknya kelaskaran di Mandar,
keterlibatan Hj. Maemunah dalam Kelaskaran GAPRI 5.3.1 serta peran dan usaha HJ. Maemunah untuk
mempertahankan kemerdekaan Indonesia di daerah Mandar.
Adapun batasan spasialnya adalah sebagian daerah Majene,
sedangkan batasan temporalnya dimulai pada tahun 1945 pada saat terbenuknya Kelaskaran
GAPRI 5.3.1 di Majene besamaan dengan datangnya NICA ke daerah Mandar sehingga
ada upaya untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia dan berakhir pada tahun
1950, dengan pertimbangan bahwa periode ini merupakan akhir dari perjuangan
dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia di daerah Mandar dan sudah banyak
organisasi yang terbentuk untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
D.TUJUAN PENULISAN
Berdasarkan dari beberapa permasalahan yang telah
dibahas di atas, maka penulisan penelitian ini bertujuan sebagai berikut:
1.
Mengetahui latar belakang
Kedatangan Tentara Sekutu di Daerah Mandar
2.
Mengetahui Sejarah Terbentuknya Kelaskaran di Mandar
3.
Mengetahui Keterlibatan Hj. Maemunah Dalam Kelaskaran GAPRI
5.3.1
4.
Mengetahui Peran dan Usaha Hj. Maemunah Dalam Mempertahankan
Kemerdekaan di Daerah Mandar
E.MANFAAT PENULISAN
Sebagai warga negara yang
baik tentunya harus mengetahui sejarah karena bangsa yang besar adalah bangsa
yang menghargai jasa para pahlawannya. Sejarah nasional tidak terlepas dari sejarah daerah yang merupakan sesuatu yang
sangat penting bagi warga masyarakat yang mendiami daerah tersebut. Namun,
masih banyak generasi muda yang tidak tahu tentang sejarah daerahnya sendiri
bahkan pejuang-pejuang yang berasal dari daerahnya yang rela mengorbankan harta
dan jiwa mereka demi kemerdekaan Indonesia. adapun manfaat yang ingin dicapai dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.
Agar masyarakat Mandar khususnya generasi muda dapat
mengetahui dan mengambil hikmah dari perjuangan yang dilakukan oleh Hj.
Maemunah dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia di daerah Mandar.
2.
Dapat memberikan
manfaat terhadap ilmu pengetahuan pada umumnya dan aspek kesejarahan yang dapat
digunakan sebagai informasi guna dijadikan sebagai bahan diskusi.
3.
Sebagai bahan kajian dan diskusi
akademik mengenai tokoh pejuang wanita dalam peranannya mempertahankan
kemerdekaan di tanah Mandar
4.
Sebagai bahan
referensi dan acuan bagi siapa saja yang berminat untuk mengetahui perjuangan
mempertahankan kemerdekaan di daerah Mandar, sekaligus sebagai upaya dalam
mengenang jasa para pahlawan.
F.TINJAUAN
PENELITIAN SEBELUMNYA
Ada beberapa referensi atau
tulisan mengenai peranan Hj. Maemunah dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia
di daerah Mandar, yang didalamnya memberikan gambaran singkat tentang
perjuangan yang dilakukan oleh Hj. Maemunah, seperti karya Muhammad Amir, Drs.
A. Muis Mandra,.
Tulisan Drs. A. Muis Mandra
dengan judul sejarah perjuangan
kemerdekaan bangsa di Mandar. Tulisan ini memuat perjuangan-perjuangan yang
dilakukan oleh masyarakat Mandar serta beberapa pergerakan yang dilakukan oleh Kelaskaran-Kelaskaran
di Mandar dan salah satunya adalah kelaskaran yang dipimpin oleh Hj. Maemunah.
Dalam tulisannya memuat tentang latar belakang terbentuknya GAPRI 5.3.1,
kegiatan Kelaskaran GAPRI 5.3.1, dan beberapa pertempuran-pertempuran yang
melibatkan pejuang GAPRI 5.3.1 dengan Belanda.
Walaupun membahas organisasi yang
dipimpin oleh Hj. Maemuna, tulisan ini sangat sedikit membahas peran-peran yang
dijalankan oleh Hj. Maemunah sebagai pimpinan GAPRI 5.3.1
Tulisan Muhammad Amir dengan
judul kelaskaran di Mandar sulawesi barat
kajian sejarah perjuangan mempertahnkan kemerdekaan. Tulisan ini
menceritakan tentang masa sebelum kemerdekaan di Mandar sampai terbentuknya Kelaskaran-Kelaskaran
di Mandar. Dalam salah satu bab dijelaskan tentang oganisasi yang dipimpin oleh
Hj. Maemunah, namun sangat sedikit menjelaskan tentang peran dan fungsi Hj.
Maemunah dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan di daerah Mandar.
G.METODE PENULISAN
Pada umumnya yang disebut
metode adalah cara atau prosedur untuk mendapatkan objek. Juga dikatakan bahwa
metode adalah cara untuk berbuat atau mengerjakan sesuatu dalam suatu sistem
yang terencana dan teratur. Jadi, metode selalu erat hubungannya dengan
prosedur, proses, atau tekhnik yang sistematis untuk melakukan penelitian
disiplin tertentu. Hal ini dimaksudkan untuk mendapatkan objek peneliian. [7]
Untuk menjawab substansi
masalah berdasarkan rumusan masalah, maka diperlukan adanya suatu metode
peneltian pada hakekatnya dapat menggunakan berbagai macam cara atau metode.
Penggunaan metode tersebut, tergantung dari tujuan penelitian, sifat masalahnya
yang akan digarap dan berbagai alternatif yang akan digunakan.
Adapun metode yang digunakan
dalam penelitian ini adalah: (1)heuristik,
yaitu menghimpun jejak-jejak masa lampau. (2) kitik sumber, yaitu menyelidiki apakah jejak-jejak masa lampau itu
baik bentuk dan isinya. (3) interpretasi,
yaitu menempatkan makna dan saling
berhubungan dari fakta-fakta yang diperoleh. (4) historiografi, yaitu penyajian atau menyampaikan sintesa yang
diperoleh dalam bentuk kisah sejarah. [8]
1.
Heuristik ( Tahap Mencari Sumber)
Kemampuan menemukan dan
menghimpun sumber-sumber yang diperlukan dalam penulisan sejarah biasa dikenal
sebagai tahap heuristik. Dibutuhkan keuletan tersendiri disamping bekal
metodologi yang mantap agar seseorang peneliti mampu menemukan bahan-bahan
tertulis karena tiadanya dokumen berarti tiada sejarah. Sedang dokumen itu beraneka ragam bentuknya
tidak hanya berupa dokumen perorangan atau pribadi, tetapi juga dokumen umum
yang mempunyai manfaat beragam.
2.
Kritik Sumber
Ada yang mencoba menyatukan
“tahap analisis” dan “tahap sintesis” dalam peneliian sejarah karena kaitan
keduanya tampak sangat erat sekali. Dalam tahap analisis sebenarnya dikenakan
dua macam kritik yaitu kritik ekstren dan kritik intern. Kritik ekstren mencoba
menjawab tiga pertanyaan yaitu mengkaji kesejatian, keaslian, atau keotentikan
sumber-sumber yang ada sedangkan kritik intern dilakukan setelah kitik ekstern
dilakukan yang mencoba mengkaji seberapa jauhkah kesaksian sumber yang telah
lolos tadi dapat dipercaya.
3.
Interpetasi
Sumber-sumber yang telah
lolos dari kritik, kemudian dilakukan suatu penafsiran dari bahan-bahan tadi.
Dalam tahap ini telah dapat ditetapkan dari fakta-fakta yang teruji. Dalam
tahap ini subjektivitas peneliti tampak mulai berperan.
4.
Historiografi (Penyajian)
Dalam tahap terakhir ini,
peneliti menyampaikan sintesis yang diperoleh dalam bentuk karya sejarah. Dalam
tahap ini, iperlukan kemampuan khusus, yaitu kemampuan mengarang. Bagaimana
agar fakta-fakta sejarah yang sudah benar-benar terpilih tetapi masih bersifat
fragmentaris itu dapat menjadi suatu sajian yang besifat utuh, sistemais, dan
komunikatif. Mudah dimengerti bila dalam tahap ini dipelukan suatu imajinasi
historis yang baik.[9]
BAB II
PEMBAHASAN
A. Latar
Belakang Kedatangan Tentara Sekutu di Mandar
Serangan sekutu di Pasifik,
membuat kewalahan tentara Jepang dalam pertempuran yang berlangsung
di semua wilayah penjajahan Jepang. Bulan Juni/juli pesawat pembom sekutu
muncul di udara. Kemenangan pihak sekutu terhadap bala tentara Jepang dikunci
dengan dua pemboman dashyat yang dijatuhkan atas kota Hiroshima dan Nagasaki
pada tanggal 6 dan 8 Agustus 1945. Bangsa Jepang terheran-heran menyaksikan
kedahsyatan senjata pemusnah itu, sementara ratusan ribu yang terkena, musnah
karena hangus. Maka mitos bahwa bangsa keturunan dewa matahari akan lenyap maka
pada tanggal 15 Agustus 1945, kaisar Hirohito mengumumkan penyarahan Jepang
tanpa syarat kepada sekutu. Untuk merealisasi penyerahan diri tanpa syarat Jepang
maka tentara sekutu mulai melaksanakan tugas untuk segera mengambil alih
daerah-daerah bekas pendudukan militer Jepang sambil melucuti senjata dan
membebaskan para tawanan perang.[10]
Berita menyerahnya Jepang
atas sekutu pada tanggal 15 Agustus 1945 membangkitkan semangat nasionalisme
dan cita-cita kemerdekaan yang tak terbendung dari pemuda pemudi Indonesia yang
menghendaki segera mengumumkan pernyataan kemerdekaaan. Atas usul dan desakan
dari pemuda, akhirnya Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta menandatangani piagam
proklamasi kemerdekaan Indonesia. Tanggal
17 Agustus 1945, kemerdekaan Indonesia diproklamasikan oleh Ir. Soekarno di
depan wakil-wakil ari seluruh daerah Indonesia pukul 10.00 pagi di lapangan
Ikada, jalan Pegagasan Timur 56 Jakarta. Meskipun demikian, berita proklamasi
kemerdekaan Indonesia tidak banyak diketahui oleh seluruh rakyat indoneisa
karena berdasarkan perjanjian antara Jepang dan sekutu tanggal 15 Agustus 1945
bahwa semua urusan sipil di Indonesia pada masa peralihan tetap dipegang oleh
pemerintah Jepang sampai tentara sekutu tiba. karena itu, usaha penyebarluasan
proklamasi di seluruh wilayah Indonesia tidak dibesar-besarkan pemerintah Jepang
dengan hanya dibeitakan 2 menit keseluruh pelosok tanah air lewat siaran radio
di kantor berita Domei. [11]
Wilayah Indonesia, sebagai
salah satu daerah bekas pendudukan militer Jepang dengan terpaksa pula harus
diduduki oleh pasukan sekutu. Dan untuk pelaksanaan tugas itu, ditunjuklah
tentara kesatuan Inggris. Namun karena dianggap kurang cukup untuk mengemban
tugas, oleh laksamana Lod Louis Maountbatten, sebagai pimpinan komando pasukan
sekutu untuk wilayah Asia Tenggara, meminta bantuan dari tentara kesatuan Australia
untuk menduduki sebagian wilayah Indonesia.[12]
Sekutu yang berasal dari Australia akhirnya mendarat di Makassar pada
tanggal 21 september 1945 dipimpin oleh Brigadir Jendral Iwan Dougherty. Pada
dasarnya kedatangan sekutu di Indonesia ialah untuk menerima penyerahan pasukan
Jepang dan memulangkan mereka ke negerinya. Tugas pokok dari tentara ini adalah
:
1. Menerima penyerahan dari
tangan Jepang
2. Membebaskan para tawanan Jepang
3. Melucuti dan mengumpulkan
orang Jepang untuk dipulangkan
4. Menegakkan dan
mempertahankan kondisi damai untuk kemudian diserahkan paa pemerintah sipil.
5. Menghimpun keterangan
tentang penjahat perang untuk menuntut
mereka di pengadilan serikat[13].
Agar tugas pokok mereka terlaksana maka dalam
pelaksanaan tugas tersebut ditambahkan tugas lain yaitu :
1. Menjamin terlaksananya keamanan di Indonesia
2. Menjaga agar tidak terjadi perobahan
status quo dalam wilayah Indonesia.
3. Mengurus para interniran bekas KNIL dan
lain-lain yang disekap oleh Jepang
Disaat tentara sekutu tiba
di kota Makassar, ia diterima baik oleh Dr. Ratulangi sebagai gubernur dan
wakil pemerintahan Republik Indonesia di Sulawesi sesuai dengan pembicaraan
sebelumnya di Makassar bersama wakil sekutu Mayor Gibson, seorang bekas tawanan
perang. Namun pada kenyataannya tentara sekutu tidak jujur dan konskwen dalam
melaksanakan tugas. Sebab kedatangan di Sulawesi Selatan (Makassar) bukan saja
bertugas untuk melucuti senjata tentara Jepang dan memelihara keamanan dan
ketertiban, tetapi lebih jauh ia tampak bertindak membantu pihak Belanda untuk
mengembalikan kekuasaannya di daerah-daerah Sulawesi Selatan, yaitu dengan
jalan secara diam-diam mempersenjatai bekas tawanan perang Belanda dan
KNIL yang sudah dibebaskan dari tawanan
balatentara pihak Jepang. [14]
Aksi-aksi atau gerakan yang dilancarkan oleh organisasi perjuangan
ditujukan untuk mematahkan hadirnya unsur kolonial yang selalu mendambakan
kembalinya kekuasaan Pemerintah Belanda di kawasan Mandar, ialah dengan melalui berbagai penyebaran dan pemasangan pamflet yang dibuat oleh Riri Amin
Daud dan A.R Tamma sedangkan untuk penyebaran dan pemasangannya ditugaskan
kepada para pemuda, antara lain; untuk daerah sektor Tinambung, Majene, dan
Pamboang dibawah koordinasi Ahmad sedang di sektor Pambusuang, campalagian dan
Polewali di bawah koordinir Lappas Bali. Pamflet-pamflet yang disebarkan itu
berbunyi :
1. Hai pegawai-pegawai kolonial, tak ada
tempatmu di wilayah RI.
2. Kita sudah berpengalaman dijajah Belanda.
3. Awas, hai anti kemerdekaan perhitungan
pasti datang.
4. Indonesia merdeka, penjajah mampus.
5. Kalau tak mau merdeka silahkan ke neraka[15].
Bunyi atau kalimat pamflet disesuaikan dengan perkembangan dan keadaan
perjuangan. Sebelum tentara NICA memasuki wilayah Mandar, yang saat itu sudah berada di kota Pare-pare, bunyi atau kalimat yang terdapat
pada pamflet diubah dalam bentuk yang cukup keras. Dimaksudkan untuk mencegah
terjadinya penyeberangan dari para anggota-anggota pergerakan ke pihak musuh,
yang antara lain berbunyi dalam kalimat sebagai berikut :
1. Penghianat adalah dosa besar
2. Hidup pejuang, penghianat mati
3. Penghianat harus dibunuh
Sekitar bulan Oktober 1945, sesaat ketika menjelang masuknya tentera NICA di
kawasan Mandar, terjadi suatu aksi protes terhadap sebuah kapal yang berbendera
Belanda yang sedang berlabuh di pelabuhan kota Majene,
kedatangan kapal tersebut bermaksud untuk menyelidiki reaksi masyarakat bila
kelak datangnya NICA yang datang memasuki wilayah Mandar. Namun dengan
menyaksikan kedatangan kapal tersebut maka para pemuda dengan spontanitas
melakukan aksi protes, antara lain dipelopori oleh, Abd. Madjid dan Lembang.
Pada saat itu, para pemuda mandatangi kapal dalam rombongan yang berjumlah
sebanyak tiga perahu dan kemudian menyita bendera Belanda[16].
Bala tentara asing dari Australia tiba di
daerah Mandar pada Minggu 29 November 1945, tentara Australia mulai tampak di Mandar
dan menempatkan markas komandonya di Majene, ibu kota afdeling Mandar.
Para pimpinan
perjuangan tidak menampakkan kecurigaan dengan kedatangan tentara Australia namun tetap waspada. Meski
tentara Australia sudah ada di Mandar, tapi kegiatan dan persiapan para pejuang tetap
berjalan . sebulan berada di Mandar, tentara Australia mulai mendatangi daerah Polewali, Mamasa, dan Mamuju dengan dalih untuk
menjaga keselamatan orang-orang Jepang dan mengamankan material yang
ditinggalkannya. [17]
Para pejuang maupun rakyat
baru tahu kalau tentara Belanda sudah
ada di Mandar bersama-sama tentara Australia ketika pada hari Minggu 13 Januari
1946, bendera Belanda berkibar di sebuah tangsi di Majene. Sesudah penaikan
bendera tersebut, para tentara Belanda sudah mulai menampakkan diri secara
terang-terangan. Pada senin 14 Januari, tentara Belanda menurunkan bendera
Merah Putih di depan markas pejuang di Majene dan di Pamboang, sayangnya tidak
ada reaksi dari pemuda pejuang setempat.[18]
Keesokan harinya selasa 15
januari 1946, tentara Belanda datang ke Tinambung untuk menurunkan bendera
merah putih yang berkibar di halaman Andi Depu, namun gagal karena Andi Depu
memeluk tiang bendera sambil berteriak dengan lantang ,” tuan-tuan jangan
coba-coba menurunkan bendera ini, dan kalau mau paksakan tembaklah saya baru
bisa turunkan bendera kebangsaan kami ini”. Setelah gagal menurunkan bendera
merah putih di Tinambung, kemudian tentara Belanda menuju ke arah Pambusuang
dan Campalagian, namun kali ini tentara Belanda
berhasil menurunkan bendera merah putih di kedua daerah tersebut. [19]
Peristiwa atau
insiden-insiden yang terjadi antara NICA dengan para kelompok pemuda setempat
membuktikan bahwa kedatangan tentara sekutu dengan membonceng tentara NICA
dianggap sebagai suatu usaha yang nyata untuk mengembalikan kekuasaan
pemerintah Hindia Belanda di kawasan Mandar. Peristiwa-peristiwa tersebut telah
menampakkan tindakan kekerasan fisik, utamanya setelah perjuangan
mempertahankan proklamasi kemerdekaan yang kemudian beralih kepada gerakan perlawanan
bersenjata yang dilakukan oleh organisasi perlawanan setempat.
Di daerah Mandar
sendiri organisasi perjuangan yang ke depan bakal menjadi embrio lahirnya
perjuangan yang lain adalah API
(Angkatan Pemuda Islam). API merupakan wadah perjuangan yang lahir pada masa
pendudukan Jepang dan lahir 4 bulan sebelum Jepang menyarah tanpa syarat pada
sekutu. Organisasi ini yang menjadi embrio lahirnya beberapa organisasi
perjuangan yang ada di Mandar seperti KRIS MUDA, GAPRI 5.3.1 dan ALRI PS.
B. Terbentuknya Kelaskaran di Mandar
Setelah proklamasi kemerdekaan
Republik Indonesia, pemerintah Hindia Belanda mengatur strategi politik agar
dapat memerintah kembali di Indonesia, termasuk daerah Sulawesi Selatan. Namun
kedatangan Belanda tersebut ditolak sebagaian besar rakyat Indonesia. karena itu,
Letnan Gubernur Jenderal Dr. H. J. Van Mook membuat strategi politik militer
dengan nama “Politik Federal”, yaitu suatu gagasan pembentukan negara federal Indonesia.
Van mook menetapkan Sulawesi Selatan sebagai penopang utama mewujudkan politik
federal karena daerah ini memiliki pengaruh politik dan ekonomi yang besar
serta letak geografisnya yang strategis. [20]
Periode pemerintahan sekutu di Sulawesi tidak
hanya dicirikan oleh munculnya gerakan rakyat menentang pemerintahan dan
kekuasaan Belanda saja, tetapi juga diwarnai dengan lahirnya
organisasi-organisasi kelaskaran bercorak khusus. Pada dasarnya organisasi
kelaskaran yang berkembang di Sulawesi segera dapat mendirikan cabangnya di
daerah pedalaman. Berdirinya organisasi kelaskaran segera dapat diterima oleh
seluruh lapisan masyarakat. Peran bangsawan dalam organisasi tersebut mendorong
masyarakat dengan segera melibatkan diri sekaligus menjadi anggotanya. Hampir
semua organisasi kelaskaran yang telah didirikan memuat nama-nama raja sebagai penasehat,
pelindung atau sebagai pimpinan utama. Hal demikian berlaku pula pada hampir
semua wilayah di nusantara, sebab raja atau bangsawan dianggap sebagai tempat
bernaung masyarakat banyak sehingga sikap dan tindakan yang dilakukan raja
merupakan suatu perintah yang harus dilaksanakan.[21]
Kedatangan sekutu ke tanah Mandar memberi dampak perubahan terhadap
kehidupan masyarakat di daerah Mandar. Kedatangan sekutu tersebut pada mulanya
mendapat tanggapan baik dari para masyarakat, karena sesuai tugas awal mereka
dan ini diketahui olah masyarakat bahwa kedatangan tentara sekutu ke Mandar bertujuan untuk mengambil alih daerah-daerah bekas pendudukan Jepang,
mengurus tawanan, melucuti dan memulangkan orang Jepang, menegakkan dan
mempertahankan kemanan untuk kemudian diserahkan kepada pemerintah sipil dan
soal penjahat perang.[22]
Tidak konsekuennya sekutu terhadap tujuan awal mereka kembali ke Mandar
karena disamping sekutu bertugas untuk melucuti senjata tentara Jepang dan
memelihara keamanan dan ketertiban, tetapi lebih jauh mereka bertindak membantu
pihak Belanda untuk mengembalikan kekuasaannya di daerah-daerah bekas
pendudukan mereka.
Perilaku sekutu yang diam-diam mempersenjatai bekas tawanan perang Belanda
diketahui juga oleh para tokoh-tokoh pemuda pergerakan di daerah Mandar, hal
ini disebabkan karena para pemimpin-pemimpin pergerakan tersebut selalu
mengadakan kontak atau hubungan dengan tokoh-tokoh pejuang lainnya yang berada
di kota Makassar. Kedatangan sekutu di Mandar mendapatkan reaksi dari
masyarakat. Kedatangan sekutu secara nyata di Mandar yang hendak kembali
merebut kekuasaan, maka para tokoh dan pemuda-pemuda setempat di daerah Mandar
secara terang-terangan pula segera mempersatukan massa dalam suatu wadah
organisasi Kelaskaran. Semangat kemerdekaan yang telah dirasakan kembali muncul
akibat datangnya tentara sekutu yang melenceng dari tujuan awal mereka datang di Indonesia. Hal inipun terjadi di daerah Mandar,
kedatangan sekutu pada mulanya mendapat tanggapan positif dari masyarakat
berubah menjadi perlawanan yang diakibatkan berubahnya pula tujuan sekutu.
Respon tersebut salah satunya berupa pendirian atau membentuk sebuah organisasi
perjuangan dalam bentuk kelaskaran. Organisasi Kelaskaran pertama yang dibentuk
setelah hadirnya sekutu di daerah Mandar adalah Kebaktian Rahasia Islam Muda Mandar
yang disingkat KRIS MUDA MANDAR
Sebelum organisasi ini terbentuk di Mandar sebenarnya lebih dahulu
terbentuk organisasi pemuda di Campalagian. Organisasi tersebut diberi nama
Islam Muda yang berdiri sekitar sekitar bulan April 1945 yang bertujuan untuk
mencapai Indonesia merdeka[23].
Badan Kelaskaran KRIS MUDA dibentuk pada tanggal 19 Agustus 1945 di Balanipa
yang merupakan lanjutan dari organisasi pergerakan Islam Muda yang telah
berdiri sebelumnya. Lahirnya KRIS MUDA di Mandar itu adalah kelanjutan dari API
yang telah ada sejak zaman Jepang sedangkan nama terakhir, KRIS Muda
disesuaikan dengan nama KRIS yang dibentuk di Jakarta oleh para putera-putera
asal Sulawesi yang berdiam di Jawa.Organisasi ini merupakan prakarsa dari Riri
Amin Daud dan A. Rahman Tamma atas
restu dari Maraqdia Balanipa, Ibu Andi Depu
Berkembangnya KRIS MUDA memberi dampak pada pemikiran tentang kebangsaan
para masyarakat yang ada di Mandar. Sekitar pertengahan tahun 1946 di Markas
KRIS MUDA di Timbu Allu, terjadi suatu pertemuan antara M. Saleh Puanna I
Sudding bersama para pengikutnya, seperti Kanjuha. M, Saleh Bakti dan Mustafa
dengan kedua perutusan yang masing- masing berasal dari Jawa dan Kalimantan.
Dari hasil pertemuan tersebut disepakati bahwa perlu dibentuk sebuah pasukan
tempur di Mandar. Nama badan perjuangan hasil pertemuan tersebut dinamakan
GAPRI 5.3.1.[24]
Kelaskaran GAPRI 5.3.1 pada mulanya merupakan suatu organisasi sosial yang
bernama PRAMA yang berdiri pada tahun 1935 atas prakarsa H.M. Syarif, salah
seorang sesepuh masyarakat di daerah Baruga. Setelah proklamasi kemerdekaan,
atas persetujuan para anggota dan pengurus organisasi tersebut, PRAMA kemudian
diganti menjadi PERMAI (Perjuangan Masyarakat Indonesia). Perubahan nama tersebut lebih banyak diselaraskan dengan ide perjuangan
bangsa Indonesia pada waktu itu. Organisasi ini dalam perkembangannya
mempunyai dua fungsi utama yaitu berfungsi sosial dan berfungsi sebagai wadah
perjuangan yang bergerak bawah tanah guna untuk menegakkan, membela dan
mempertahankan kemerdekaan yang telah diproklamirkan.[25]
C.
Keterlibatan Hj. Maemunah dalam GAPRI 5.3.1
1. Sejarah Singkat Hj. Maemunah
Hj. Maemunah lahir pada
tahun 1916 di Baruga kabupaten Majene. Ia adalah putri dari pasangan Muhammad
Saleh dan Habiba. Hj. Maemunah mempunyai 2 saudara diantaranya H. Bahria dan
Hj. Bahria dan H. Nurdin. Setelah enam tahun ibu Maemunah meninggal, ayahnya
kemudian menikah lagi dengan Sohara yang kemudian dikaruniai 2 oang putera
yaitu Mabur dan abrar, keduanya berdomisili di Makassar. Semasa kanak-kanak ,
ia dibesarkan di desa Baruga dengan pendidikan islam yang selalu ditanamkan
oleh kedua orangtuanya serta pendidikan nonformal berupa adat istiadat yang
berlaku di masyarakat Mandar. [26]
Dalam kehidupan sehari-hari,
Maemunah dikenal sebagai anak yang shaleh taat beribadah dan pemberani. Sebagai
anak petama dari lima bersaudara, Maemunah selalu bersikap hati-hati dalam
bertindak karena dia adalah panutan terhadap keempat adiknya. Tahun 1928, yaitu
pada usia 12 tahun Maemunah memasuki sekolah dasar 6 tahun di Majene. Setelah iu ia melanjutkan
pendidikan guru selama 2 tahun di tempat yang sama. Pada tahun 1937, maemunah
kemudian melanjutkan ke CVO untuk
mendidik tenaga-tenaga guru.[27]
Maemunah sudah diangkat
sebagai kepala sekolah Ba’babulo dari tahun 1937-1953. Pada tahun 1940 Mamunah
menikah dengan pemuda bernama Muh. Jud Pance, mereka berdua satu pofesi sebagai
guru. Keduanya bertugas dan menikah di deteng-deteng Majene namun dari hasil
perkawinannya, mereka tidak dikaruniai anak.[28]
2.Bergabungnya Hj. Maemunah dalam GAPRI 5.3.1
Pada tahun 1935, para pemuda
di Majene mendirikan sebuah organisasi sosial bernama PRAMA oleh H. Muh.
Syarief dan kawan-kawan. Tujuan pembentukan organisasi ini adalah menentang kedatangan
Belanda di Mandar yang berkubu di Majene. Para penjajah kemudian membakar habis
kubu dari organisasi tersebut yang oleh orang-orang Mandar disebut “boyang
soba”. Pada tanggal 24 Agustus 1945 atas persetujuan H. Muh. Syarie, H. Muh.
Jud Pance, serta Hj. Maemunah maka oganisaais PRAMA dirubah menjadi PERMAI.
Organisasi ini bertujuan memperjuangkan merah putih yang bergerak di bawah
tanah demi menyusun kekuatan untuk membela poklamasi 17 Agustus 1945. Selain
itu juga bergerak pada bidang sosial, ekonomi, dan budaya. Organisasi inilah
yang kemudian berubah menjadi kelaskaran GAPRI 5.3.1 dengan tujuan menanmkan
perasaan kebangsaan yang tinggi, perasaan cinta tanah air dan bangsa Indonesia.
keikutsertaan Maemunah dalam berbagai kegiatan organisasi perjuangan menandakan
jiwa patriotnya yang tidak memandang dirinya sebagai seorang wanita yang lemah.
[29]
Adapun lambang kelaskaran
GAPRI 5.3.1 berbentuk segi empat panjang, disebelah atas tertulis dengan huruf
besar “GAPRI”. Dibawah tulisan itu terdapat gambar keris, ditengah terdapat
gambar tombak bersilang, disebelah atas persilangan terdapat gambar tengkorak
manusia. Disebelah kiri gambar tombak terdapat angka lima, disamping kanannya
angka tiga dan disebelah bawah persilangan tombak tertera angka satu, tulisan
huruf besar paling bawah adalah kata “Merdeka”. [30]
Pasukan tempur yang bernama
Gabungan Pemberontak Rakyat Indonesia kode 5.3.1 disingkat GAPRI 531 merupakan
suatu oganisasi baru yang muncul setelah KRIS MUDA sebagai suatu strategi untuk mengelabuhi
NICA, bahwa ada kekuatan baru yang muncul di Mandar sehingga kekuatan tempur NICA menjadi
terbagi. Angka 5.3.1 di belakang singkatan GAPRI mempunyai arti sebagai
berikut:
5 (Lima),
artinya berjuang dengan tidak melalaikan sembahyang lima waktu;
3 (Tiga),
artinya bersedia memberikan tiga macam pengorbanan yaitu pikiran, tenaga, dan
harta termasuk jiwa
1 (Satu), atinya
satu tujuan Indonesia tetap merdeka dan berdaulat di bawah ridha Allah SWT.[31]
Kode 531 digunakan oleh pejuang GAPRI sebagai kode umum dalam mendeteksi
kawan maupun lawan. Para pejuang GAPRI wajib mengucapkan salam ketika bertemu.
Pada saat malam hari, jika para pejuang menggunakan kedipan lampu 5 kali maka
harus membalas dengan kedipan lampu tiga atau satu kali, jika menggunakan
kedipan lampu sebanyak satu kali maka pejuang harus membalas kedipan lampu
sebanyak tiga atau lima kali. Begitu juga waktu siang dengan menggunakan jari
tangan. [32]
Adapun susunan kepenguusan
GAPRI 5.3.1 adalah sebagai berikut:
Pelindung : para kepala distrik di Majene;
Muh. Yusuf (Pa’bicara Baru), Ato Benya (Pa’bicara Pangali-ali), dan Tambacu (
Pa’bicara Banggae), serta kepala-kepala kampung ( Sulaiman, Da’aming,
Bahauddin, dan Basi)
Penasihat : Para Kadi, imam, para
ulama ( Kiyai Ab. Jalil, Kiyai H. Ma’ruf, Kiyai H. Nuhung, H. Sanusi, H.
Jumadara, dan H. Yahya
Pimpinan/
pembina : H. Maemuna, H. M. Djud
Pantje, H. M. Syarif, H. Abd. Gani Ahmad, H. M. Tahir, H. Fatani, Sultani
Mansyur, Abu Pua’ Rugaya, Hamzah, Muhammad Pua’ Budaer, Aco. R, Ismail Riso, M.
Tahir R, H. Bahra, St. Rabiah Syarif, H. Habiba, St. Fatimah, Hiaya, Basir,
Kuni, dan lain-lain
Sekretariat : Ketua Sapar Rahim, Wakil
Ketua Adam dan Muis
Bendahara/
Keuangan : H. Habiba
Komandan-komandan Tempur :
Komandan Besar (Muh. Saleh
Banjar), Wakil (Raden Ihak), Pengawal ( Atjo Bulla, Sumardi, dan Amin Syarif),
Komandan-komandan (Basong, Tanre, Kanjuha, Labora, Yole, Koye’, Muh. Saleh
Sosso, Harun, Maryono, Sukirno, Sulemana Kume, Dose’, Habo’, Jalaludin, dan
Hammasa)
Komandan Pelatih : H. Zainuddin, Akhmad Syarif, Mustafa
Kamal, dan Hanna
Penggearak Massa : abd. Wahab Anas, Abd. Haliem AE, dan
Sultani Mansur)
Penggerak Pemuda Pelajar :
Hafid Imran, Usman Syarif, dan
Nurhadi Syarif
Persenjataan : Muh. Jafar Pua’ Dalling dan
Kumu’ (Perwakilan Balikpapan)
Perbekalan : Sitti Fatimah
Dapur Umum : Jaisah, Sitti, dan Asiah
Arifuddin
Dapur Khusus : Hadara, Sitti Maryam, Hafsah
Urman, Saliha, Pisa, Hana, dan Rukiah
P.H.B Umum : Muhammad Pua’ Abi, Muin,
Daaming R, dan Pua’ Marawiah
P.H.B Khusus : Bakhriah, St. Aman, dan St.
Pasanrae
Kepala Kantor : Sapar Rahim, Adam, dan Muis.[33]
Adapun markas-markas dari GAPRI 5.3.1 adalah sebagai
berikut:
1.
Markas Inti di rumah Hj. Maemunah/ H. Muh. Djud Pance
2.
Markas I di Penamula, rumah Muh. Budaer
3.
Markas II di Tuqbuh, perkamaz\xpungan H. Puaq Maqingarang
4.
Markas III di Paqleoq, perkampungan Hj. Habiba dan St.
Fatimah
5.
Markas IV di Labondaq Malleq, perkampungan Saenab sekeluarga
6.
Markas V di Pumbeke, perkampungan Caping puaq Taha sekeluarga
7.
Markas VI di Arandanga Majene.[34]
Semua markas-markas yang
terbentuk merupakan strategi perjuangan yang dilakukan sesuai dengan
peristiwa-peristiwa yang terjadi akibat perlawanan-perlawanan atau
pertempuran-pertempuran yang terjadi di berbagai tempat yang ada di Mandar
khususnya di Majene.
D. Peran dan
Usaha Hj. Maemunah Dalam Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia di Mandar
Sejarah perjuangan mempertahankan
kemerdekaan di tanah Mandar memiliki warna tersendiri yang membedakan dengan
perjuangan yang terjadi di berbagai wilayah yang ada di Indonesia. Jika di
daerah lain memiliki pejuang pria yang mati-matian mempertahankan daerahnya
dari penjajah, maka di daerah Mandar memiliki pejuang wanita yang berani
melawan penjajah secara terang-terangan.
Beberapa wanita perkasa
telah lahir di tanah Mandar yang menjadi tokoh penting dalam dinamika
perjuangan yang terjadi di daerah Mandar. Beberapa tokoh wanita tersebut adalah
Andi Depu, Hj. Maemunah, St. Ruwaedah, St. Mulyati dan Hj. Oemi Hani. Deretan
nama tersebut merupakan srikandi yang rela mengobankan pikiran, jiwa dan harta
mereka untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Di Majene, muncul seorang
wanita yang begitu berani, cerdas, dan kuat yang menjadi tokoh sentral
perjuangan mempertahankan kemerdekaan dan menjadi pemimpin sebuah kelaskaran
bernama GAPRI 5.3.1. tokoh tersebut bernama Hj. Maemunah.
Pada awalnya, keanehan mulai
dirasakan Meamunah muda pada saat ia bersekolah di CVO yang pada saat itu ia
merasa adanya ketiadak adilan perlakuan antara teman sekolahnya. Mereka bersama
dengan teman-teman yang berasal dari masyarakat biasa memperoleh berbagai
tekanan dan perlakuan kurang adil dibanding dengan temannya yang berasal dari
golongan pegawai pemerintah kolonial.[35]
Pada tahun 1935, Hj. Maemuna
mulai ikut dalam sebuah organisasi sosial yang didirikan oleh H. Muh. Syarief
yang bernama PRAMA dan berkat usulannya, pada tanggal 24 Agustus 1945 nama
PRAMA diubah menjadi PERMAI . Organisasi
PERMAI ini berfungsi ganda yaitu (1) perjuangan merah putih yang bergerak
dibawah tanah, menyusun kekuatan untuk membela poklamasi 17 Agustus 1945 yang
diperankan oleh H. Muh. Jud Pance cs. (2) segi sosial, ekonomi dan budaya tetap
diperankan oleh H. Muh. Syarief cs dengan jalinan kerja sama yang erat kepada
ketua umum PERMAI.[36]
Pada saat itu ditunjuk Abdul Gani Ahmad sebagai ketua umum dengan ketentuan
harus masuk di hutan. Namun Abdul Gani Ahmad tetap memilih menetap di kota Majene
dengan alasan pengurusan di dalam kota tidak kalah penting, maka jabatan ketua
umum dikembalikan kepada Hj. Maemunah. Secara umum perubahan nama GAPRI 5.3.1
dibentuk pada tanggal 2 November 1945.
Berpijak dalam suatu organisasi kelaskaran,
Hj. Maemunah memulai kehidupan politisnya yang tentu mengandung berbagai resiko
sehubungan dengan makin meluasnya pengaruh NICA di daerah Majene. Dalam
kegiatan GAPRI 5.3.1, Hj. Maemunah mengorganisasikan para pejuang baik dalam
latihan kemiliteran, persediaan makanan, persediaan senjata maupun turun dalam
kancah pertempuran melawan Belanda. Pada masa perang kemerdekaan berkecamuk, ia
bergabung dengan pemuda lainnya dalam melawan Belanda dan berusaha menghimpun
kaum wanita diantaranya Sitti Habibah, Sitti Fatimah, Jaizah, Hadara, Sitti
Maryam, dan lain-lain.
Beberapa petempuran hebat
terjadi antara pihak Belanda dengan Pejuang GAPRIS diantaranya:
1.
April 1946 pasukan GAPRI 5.3.1 dibawah pimpinan Basong
melancarkan serangan terhadap patroli aparat NICA dan KNIL di segeri-Baruga.
Pada pertempuran tersebut kepala kampung segeri yaitu Siada tewas. Pada bulan
yang sama pasukan yang dipimpin oleh Basong dan Labora melancarkan serangan
tehadap NICA dan KNIL di pangale-Majene dan selanjutnya pasukan dibawah
pimpinan Hanna dan Bundu menyerang patroli KNIL di pambuang.
2.
Mei 1946 kelaskaran GAPRI menyerang mata-mata musuh di pangale,
mengadakan pertempuran di Abaga, Tarring (Baruga) , Simullu melawan Polisi
KNIL.
3.
Juni 1946, GAPRI makin giat melakukan serangan dengan
menyerang banyak mata-maa dan tentara KNIL di jembatan Simullu.
4.
Juli 1946, GAPRI menyerang pasukan KNIL yang sedang melakukan
patroli di pamboang dan asing-asing.
5.
Selanjutnya pada bulan Agustus, September, Oktober, dan
Desember pasukan GAPRI melakukan beberapa panghadangan terhadap pasukan
Belanda. [37]
Perlawanan-perlawanan yang
dilakukan oleh GAPRI di Majene terhadap pemerintah NICA dan tentara KNIL
tersebut, bukannya membuat Belanda menciut tetapi malah semakin meningkatkan
provokasi dan penindasan kepada rakyat dan pejuang dengan ditangkapnya beberapa
pejuang penting yang membuat pergerakan GAPRI semakin tersudut.
Semua peristiwa inilah yang
membuat Belanda geram dan jengkel. Inilah yang mempercepat keadiran serdadu westerling
di Mandar dengan tujuan utama mengahncurkan seluruh pemberontak yang ada di
Mandar tak terkecuali GAPRI 5.3.1 sampai ke akar-akarnya.
Letnan Gubernur Jenderal Dr.
H. J. Van Mook di Batavia mengumumkan pernyataan “keadaan perang dan darurat”
atau SOB pada tanggal 11 Desember 1946 (Surat keputusan No. 1 Batavia 11
Desember 1946) yang dinyatakan berlaku di dareah Afdeling Makassar, Afdeling
Bantaeng, Afdeling Pare-Pare, dan Afdeling Mandar. Akan tetapi pada hakikatnya
keadaan darurat perang dalam kenyataannya berlaku diseluruh daerah Sulawesi
Selatan karena Kolonel H. J. Vries atas perintah jenderal S. Poor mengeluarkan
suatu perintah harian pada tanggal 11 Desember 1946 kepada seluruh jajaran
tentara dibawah perintahnya untuk serentak menjalankan operasi pasifikasi atau
pengamanan berdasarkan SOB yang harus tegas, cepat, dan keras tanpa kenal ampun
dengan melaksanakan penembakan mati di tempat tanpa proses pengadilan. [38]
Hal ini membuat pejuang
GAPRI semakin tersudut karena pihak Belanda semakin gencar melakukan operasi
dengan menyebar polisi kampung yang selalu mengawasi daerah-daerah yang menjadi
pusat pergerakan di Majene.inilah yang menjadi penyebab pergerakan pemuda di Majene semakin sempit
akbat adanya polisi kampung yang selalu mengawasi gerak-gerik mereka.
Pada tanggal 4 Februari 1947
HBA Sangkala Menangkap dan membawa Maemunah ke Majene untuk di tahan. Dalam
tahanan, Maemunah dan pejuang lainnya mendapat siksaan yang sangat kejam dari
pihak Belanda. Sebelum Maemunah ditangkap, ia menyuruh suaminya yang menjadi
buronan utama pihak Belanda karena sering terlihat bersama pejuang GAPRI
untuk pergi di kampung Langnga Pare-Pare untuk berdagang, pada saat itu,
pihak Belanda belum terlalu tahu tentang keterlibatan Maemunah dalam GAPRI
sehingga ketika Pance datang pada tanggal
7 Februari menemui Maemunah dan
langsung ditahan. Keesokan harinya Maemuanh dibebaskan. [39]
Di Baruga dilakukan
penjagaan ketat karena berita bekembang bahwa sasaran utamanya adalah markas
inti dan malam harinya diadakan ronda
malam. Keesokan harinya penduduk dikumpulkan di depan masjid Baruga disamping
rumah Maemunah . Maemunah kemudian ditangkap oleh KNIL suku Ambon yang
penangkapannya disaksikan oleh ibu kandungnya Habibah dan adiknya Bahria. Pada
saat itu, Maemunah berusaha kabur dengan mendaki gunung tapi tiba-tiba
diberondong senjata KNIL dari arah masjid .[40]
Setelah lima puluh sembilan
hari di tahanan karena tidak didapatkan bukti kejahatan yang kuat sehingga pada
tanggal 6 April 1947 Pance bersama dengan 30 tahanan lainnya bebas. Namun
berselang 3 hari, pance kembali di tangkap dan langsung ditahan. Tetapi
penangkapan Pance ini tidak menyurutkan Pejuang Mandar baik itu KRIS MUDA dan
GAPRI untuk melakukan penyerangan terhadap Belanda. Ini terbukti dengan
perlawanan yang terjadi di beberapa daerah seperti Pamboang, Totolisi, Onang,
Camba Pambusuang, dan lainnya.[41]
Perlawanan pemuda setelah
aksi Westerling agak menurun. Penyebabnya adalah banyaknya pimpinan yang telah
gugur dan tertangkap . selain itu banyak senjata yang digunakan oleh pejuang
GAPRI disita sehingga perlawanan tidak sehebat dulu lagi.
Dalam penjara Majene, Hj.
Maemunah dan beberapa pejuang lainnya disiksa. Pada malam ketiga, Maemunah
ingin melarikan diri tetapi cepat diketahui polisi, akibatnya Jud Pance disiksa
dan ditendang sampai jatuh dihadapan Maemunah sehingga ketika Maemunah kembali
ke tahanan kemudian ia menulis sebuah surat untuk membebaskan suaminya yang
akan dijatuhi hukuman mati. Dan permohonan ini diterima olh letnan dick.
Mendengar permohonan Maemunah dikabulkan, maka HB Sangkala protes kepada letnan
Dick atas keputusan tersebut, hingga pada akhirnya pada tanggal 13 April 1947
Pance ditangkap kembali. Atas jasa baik
seorang pegawai belanda asal ambon yang mengusulkan agar perkara Maemunah
diselesaikan di Makassar. Tiba di makassar, Maemunah kemudian menghadap ke
kantor yustisi untuk di proses dan ditetapkan sebagai tahanan wajib lapor dua
kali seminggu. [42]
Pada masa inilah Maemunah
semakin berani mengikuti urusan-urusan perjuangan bekerjasama dengan pejuang di
Makassar. Selain itu urusan kelaskaran GAPRI 5.3.1 tetap dilanjutkan. Pembelian
senjata api untuk dikirim ke Mandar dan Bangkala sebagai daerah yang masih
bergejolak karena pejuang kemerdekaannya belum sempat ditangkap belanda. Tepat
pada tanggal 27 Desember 1949, seluruh tawanan pejuang kemerdekaan bangsa
dibebaskan dan mulailah para pejuang dapat menghirup udara bebas.[43]
Setelah pembebasan berangkatlah Hj. Maemunah
dan lain-lain menuju Majene. Maemunah dan rombongan tiba di Majene terus ke
Baruga. Setelah kemerdekaan, Maemunah menjadi kepala SGB di Majene (1954-1960)
dan menjadi guru SGA berbantuan muhammadiyah di Makassar. Tanggal 1 Januari
1963 Maemunah mengalami gangguan kesehatan sehingga di pensiunkan. Setelah 11
tahun ia sembuh kemudian pada tanggal 1 Desember 1973 ia bertempat tinggal di
teluk Gong terusan bendungan utara No. 1 Jakarta kota. [44]
Atas jasa-jasanya dalam
pejuangan di daerah mandar, Hj. Maemunah diberikan pengakuan sebagai veteran
pejuang kemerdekaan Republik Indonesia dengan golongan A tanda jasa dari
Departemen Keamanan Panglima Angkatan Bersenjata oleh Laksamana TNI Soedomo
tanggal 31 Juli 1982. Selain itu, atas jasa-jasanya pemerintah setempat
mendirikan tugu perjuangan di bekas rumahnya di baruga. Hj. Maemunah meninggal
di Makassar 21 Juli 1995 dan di makamkan di pekuburan Dadi Makassar.[45]
BAB III
PENUTUP
A.KESIMPULAN
Dengan memperhatikan dan memahami uraian-uraian di atas, maka dapat
ditarik kesimpulan bahwa:
1. kedatangan tentara sekutu membuat masyarakat di Mandar
khawatir akan penjajahan yang mereka akan alami kembali. Pada awalnya
kedatangan sekutu disambut baik oleh masyarakat umum. Namun, pemberian senjata
yang dilakukan oleh pihak sekutu terhadap NICA membuat masyarakat mandar marah
dan melakukan perlawanan-perlawanan untuk menghindari penjajahan kembali oleh
Belanda.
2. Gerakan pemuda merupakan awal perlawanan yang dilakukan oleh
pejuang Mandar dengan membentuk berbagai macam organisasi untuk mewadahi setiap
warga yang tinggal di daerah Mandar untuk melakukan perlawanan terhadap pihak
Belanda yang ingin menguasai kembali Indonesia. beberapa kelaskaran yang
terbentuk adalah KRIS MUDA MANDAR, GAPRI 5.3.1, dan ALRI PS
3. Hj. Maemunah merupakan salah satu tokoh sentral dalam
perjuangan yang lahir di daerah Majene. Beliau merupakan anak yang bukan dari
kalangan bangsawan. Walaupun bukan dari kalangan bangsawan, Maemunah berhasil
memperlihatkan eksistensinya dalam pejuangan kemerdekaan di Mandar sebagai
pemimpin Kelaskaran terbesar di Majene.
4. Sebagai pemimpin dari GAPRI 5.3.1, ia mengorganisasikan para
pejuang baik dalam latihan kemiliteran, persediaan makanan, persediaan senjata maupun
turut dalam pertempuran melawan Belanda. Ia turut serta mengangkat senjata
untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia. sebagai pimpinan, ia telah berhasil
membuat pihak Belanda pusing dengan perjuangan-perjuangan yang tak kenal lelah.
B.SARAN-SARAN
1. Penulis
menyadari, bahwa pembahasan dalam makalah ini masih perlu penambahan, utamanya pada bagian peran dan usaha
Hj. Maemunah yang disebabkan oleh keterbatasan waktu dan
kemampuan penulis untuk mendapatkan data-data yang lebih lengkap dan valid. Olehnya
itu penulis mengharapkan agar diadakan penelitian lanjutan dan lebih mendalam
oleh kalangan akademisi.
2. Perlu kiranya penelitian tentang sejarah
perjuangan mempertahankan kemerdekaan ditinjau ulang kembali, dan dengan
penjelasan yang komplit terutama sejarah perjuangan di daerah Mandar.
3. Penulis mengharapkan agar pemerintah memberikan
perhatian dan mencarikan jalan keluar untuk pengembangan sejarah lokal, untuk
memperkaya khasanah sejarah nasional
DAFTAR PUSTAKA
Amir, Muhammad,
2010, Kelaskaran di Mandar Sulawesi Barat
Kajian Sejarah Mempertahankan Kemerdekaan, Makassar: Dian Istana.
Kila, Syahir,
2011, Tiga Srikandi Pejuang Dari Mandar
Sulawesi Barat, Makassar: Dian Istana
Kuntowijoyo, 1995, Pengantar Ilmu Sejarah, Yogyakarta:
BENTANG W.
Manda, Darman.
1989. Perjuangan Rakyat Barru
Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia (1945-1950).Ujung Pandang: FPIPS IKIP
Ujung Pandang
Mandra, Muis, 2002, Sejarah Pejuangan Kemerdekaan di Mandar, Majene:
Pemerintah Daerah Kabupaten Majene Yayasan Sa’dawang.
Maeswara, Garda, 2010, Sejarah Revolusi Indonesia 1945-1950
Perjuangan Bersenjata dan Diplomasi untuk Mempertahankan Kemerdekaan, Yogyakarta:
NARASI.
Notosusanto,
Nugroho,1978, Metode Penelitian Sejarah
Kontemporer,Jakarta: Idayu
Pawiloy,
Sarita. 1979. Sejarah Revolusi
Kemerdekaan (1945-1949 Daerah Sulawesi Selatan). Jakarta :Departemen P dan
K
Poelinggomang, Edward. 2005. Sejarah Sulawesi Selatan Jilid 2. Sulawesi Selatan: Balitbangda
Pranoto, Suhartono, 2010, Teori & Metodologi Sejarah, Yogyakarta:
Graha Ilmu.
Rasyid, Darwis, 1999, Sejarah Revolusi Kemerdekaan Indonesia di
Polewali Mandar, Laporan Penelitian Sejarah dan Nilai Tradisional Sulawesi
Selatan, Ujung Pandang: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Rochmat, Saefur,
2009, Ilmu Sejarah dalam Pespektif Ilmu
Sosial, Yogyakarta: Graha Ilmu.
Rauf, H. Abdul,
2008, Kenangan untuk Indonesia Kumpulan
Kisah Perjuangan Rakyat Manda dalam Mempertahankan Kemerdekaan RI,
Polewali: MURIMURI TRANSMEDIA. .
Sinrang, A. Syaiful. 1994. Mengenal
Mandar Sekilas Lintas : Perjuangan Rakyat Mandar Menentang Penjajahan Belanda
(1667-1949).Ujung Pandang: Yayasan Kebudayaan Mandar Rewata Rio
Sudiyo, 2002, Pergerakan
Nasional Mencapai dan Mempertahankan Kemerdekaan, Jakarta
--------------, 1995, Monumen Sejarah Perjuangan Bangsa Di Daerah Sulawesi Selatan, Makassar:
Depertemen Pendidikan dan Kebudayaan.
[1]
Drs. Sudiyo, pergerakan nasional mencapai
& mempertahankan kemerdekaan. Jakarta,2002, hlm. 5
[2]
Edward L. Poelinggomang, Perjuangan kemerdekaan Indonesia. makalah pada
“seminar dan temu tokoh” yang diselenggarakan oleh balai kajian sejarah dan
nilai tradisional makassar, yang berlangsung di makassar pada tanggal 27 juni
2002, hlm. 6
[3]
Darman Manda, Perjuangan Rakyat Barru
Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia (1945-1950).Ujung Pandang,1989, hlm. 2
[4]
Darwis Rasyid, Sejarah Revolusi
Kemerdekaan Indonesia di Daerah Polewali Mamasa 1945-1950, Makassar, 1999,
hlm. 38
[5]
Polmas merupakan singkatan dari Polewali Mamasa sebelum berubah nama menjadi
Polman singkatan dari Polewali Mandar
[6]
Darwis Rasyid, Sejarah Revolusi
Kemerdekaan Indonesia di Daerah Polewali Mamasa 1945-1950, Makassar, 1999,
hlm. 34.
[7]
Suhartono W. Pranoo, teori &
Metodologi Sejarah, Yogyakarta, 2010, hlm 11
[8]
Nugroho Notosusanto, metode penelitian
sejarah kontemprer. Jakarta: Idayu, 1978, hlm. 17.
[9]
Saefur Rochmat, ilmu sejarah dalam
perspektif ilmu sosial, Yogyakarta, 2009, hlm 147-150
[10]Muhammad
Amir, Kelaskaran di Mandar Sulawesi
Barat, Makassar, 2010, hlm. 82-83
[11]
Ibid,hlm.87-89
[12]
Darwis Rasyid, Sejarah Revolusi
Kemerdekaan Indonesia di Daerah Polewali Mamasa 1945-1950, Makassar, 1999,
hlm. 37.
[13] Sarita Pawiloy,
Sejarah Revolusi Kemerdekaan (1945-1949 Daerah Sulawesi Selatan). Jakarta, 1979,
hlm. 101
[14]
Darwis Rasyid, Sejarah Revolusi
Kemerdekaan Indonesia di Daerah Polewali Mamasa 1945-1950, Makassar, 1999,
hlm. 37.
[15]
Syaiful Sinranng, Mengenal Mandar Sekilas
Lintas : Perjuangan Rakyat Mandar Menentang Penjajahan Belanda (1667-1949),Ujung
Pandang,1994, hlm. 298
[16]
Darwis Rasyid, Sejarah Revolusi
Kemerdekaan Indonesia di Daerah Polewali Mamasa 1945-1950, Makassar, 1999,
hlm. 36.
[17]
Kol. Pun. H. Abdul Rauf, Kengan uintuk
Indonesia Kumpulan Kisah Perjuangan Rakyat Mandar dalam Mempertahankan
Kemerdekaan, Makassar, 2008, hlm 35.
[18]
Ibid.,hlm. 39.
[19]
Ibid., hlm. 40
[20]
Muhammad Amir, Kelaskaran di Mandar
Sulawesi Barat, Makassar, 2010, hlm. 127
[21] Edward Poelinggomang, Sejarah Sulawesi Selatan Jilid 2,
Sulawesi Selatan,2005, hlm. 181
[22]
Sarita Pawiloy, Sejarah Revolusi
Kemerdekaan (1945-1949 Daerah Sulawesi Selatan). Jakarta, 1979, hlm. 72
[23]
Darwis Rasyid, Sejarah Revolusi
Kemerdekaan Indonesia di Daerah Polewali Mamasa 1945-1950, Makassar, 1999,
hlm 32.
[24]
Ibid., hlm 43.
[25]
Muhammad Amir, Kelaskaran di Mandar
Sulawesi Barat, Makassar, 2010, hlm. 150
[26]
Syahrir Kila, Tiga Srikandi Pejuang dari
Mandar-Sulawesi Barat, Makassar:2011, hlm.82.
[27]
Ibid., hlm 83.
[28]
Ibid., hlm 84.
[29]
Ibid., hlm. 84
[30]
Ibid., hlm. 97
[31]
Darwan Rasyid, Sejarah Revolusi
Kemerdekaan Indonesia di Daerah Polewali Mamasa 1945-1950, laporan
penelitian sejarah dan nilai tradisional sulawesi selatan, Makassar, 1999, hlm
42
[32]
Muis Mandra, Sejarah Perjuangan
Kemerdekaan Bangsa di Mandar, Majene, 2002, hlm 48
[33]
Haji Maemuna Djud Pance, Sejarah
Kelaskarah GAPRI 5.3.1. (Gabungan Pemberontak Rakyat Indonesia). Makalah
pada seminar sejarah perjuangan Rakyat Sulawesi Selatan menentang penjajahan
asing, 1982.
[34]
Muis Mandra, Sejarah Perjuangan
Kemerdekaan Bangsa di Daerah Mandar, Majene, 2002, hlm 50
[35]
Syahrir Kila, Tiga Srikandi Pejuang dari
Mandar-Sulawesi Barat,Makassar:2011, hlm
83
[36]
Muis Mandra, Sejarah Perjuangan
Kemerdekaan Bangsa di Mandar,Majene:2002, hlm 49
[37]
Ibid., hlm 69-72
[38]
Depertemen Pendidikan dan Kebudayaan, Monumn
Sejarah Perjuangan Bangsa di Daerah Sulawesi Selatan, Makassar, 1995, hlm
17.
[39]
Syahrir Kila, Tiga Srikandi Pejuang dari
Mandar-Sulawesi Barat,Makassar:2011, hlm. 109
[40]
Ibid., hlm. 116
[41]
Ibid., hlm. 111
[42]
Ibid., hlm. 117-118
[43]
Muis Mandra, Sejarah Perjuangan
Kemerdekaan Bangsa di Daerah Mandar, Majene, 2002, hlm.100-102
[44]
Syahrir Kila, Tiga Srikandi Pejuang dari
Mandar-Sulawesi Barat, Makassar, hlm
85
[45]
Iid., hlm. 123-124
Tidak ada komentar :
Posting Komentar