Selasa, 30 September 2014

“LOKALISASI PELACUR” (PENYAKIT SOSIAL YANG DILEGALKAN)

Di dalam sebuah negara, pasti tidak akan terlepas dari masalah-masalah sosial yang menggerogoti masyarakat setempat. Masalah-masalah sosial tersebut biasanya terjadi karena adanya ketidakseimbangan di dalam sebuah kehidupan bermasyarat sehingga biasanya harapan masyarakat tidak sesuai dengan kenyataan yang ada. Masalah sosial ini bianya timbul karena adanya beberapa faktor dan faktor yang paling mencolok diantara faktor-faktor yang menyebabkan masalah sosial adalah faktor ekonomi. Diantara masalah sosial yang ada di masyarakat, penulis akan mengangkat judul tentang “LOKALISASI PELACUR”.
Pelacuran merupakan kegiatan yang seusia dengan kehidupan manusia. Selama ini orang-orang yang memakai kaca mata moral melihat pelacuran dari sudut peremupan yaitu pekerja seks komersial (PSK). Padahal, pelacuran hidup karena kehadiran laki-laki. Tapi, karena yang bicara laki-laki dan memakai kaca mata moral yang menjadi sasaran tembak adalah PSK.
Selama ada roda kehidupan maka (praktek) pelacuran tidak akan berhenti. Bahkan, akidah pun dipakai untuk ‘menghalalkan’ pelacuran. Di Jakarta dan beberapa tempat yang melakukan ‘kawin kontrak’, praktek pelacuran ‘dihalalkan’ dengan nikah mut’ah. Secara akidah pernikahan itu sah karena sudah memenuhi rukun nikah yaitu (1) ada calon mempelai laki-laki dan perempuan, (2) ada wali, (3) ada saksi, (4) ijab, dan (5) kobul. Tapi, mereka khilaf bahwa seseorang yang sudah mereka ‘nikahkan’ kemudian ‘bercerai’ setelah beberapa jam atau beberapa hari mempunyai masa idah yaitu tiga bulan. Tapi, perempuan-perempuan itu bisa ‘menikah’ lagi beberapa jam setelah ‘bercerai’.
Yang perlu diperhatikan dalam hal pelacuran bukan ada atau tidak lokalisasi, tapi yang perlu diperhatikan adalah praktek pelacuran yaitu kegiatan berupa hubungan seks, dalam hal ini antara laki-laki dan perempuan, dengan imbalan uang yang diberikan laki-laki kepada perempuan. Kegiatan seperti ini tidak hanya terjadi di lokalisasi pelacuran tapi bias terjadi di mana saja dan kapan saja. Siang atau malam hari bias terjadi di losmen, motel, hotel melati atau berbintang, rumah, apartemen, taman, hutan, dll.
Praktek pelacuran ada yang terbuka dan ada pula yang tertutup. Yang terbuka di lokalisasi pelacuran. Sedangkan yang tertutup laki-laki menunggu di satu tempat kemudian perempuan datang menyusul. Ini yang disebut sebagai ‘perempuan panggilan’ karena perempuan yang akan meladeni laki-laki ‘hidung belang’ dipanggil melalui telepon, atau kurir yang bisa seorang pegawai losmen atau hotel, tukang beca, pengojek atau sopir taksi. Ada juga perempuan sudah ‘tersedia’ di losmen atau hotel yang ‘menyamar’ sebagai tamu. Ada pula perempuan dengan dandanan tertentu yang menawarkan diri dengan mangkal di tepi jalan tertentu, di mal atau tempat lain.
Jika bertolak dari upaya menyelamatkan masyarakat maka lokalisasi pelacuran bukanlah tindakan melegalkan pelacuran karena tanpa lokalisasi pun praktek pelacuran terus terjadi. Inilah yang mengancam masyarakat karena laki-laki yang melakukan hubungan seks dengan perempuan (baca: PSK) di losmen, motel, hotel, rumah, apartemen, dll. Berisiko tinggi tertular IMS dan HIV atau dua-duanya sekaligus. Kalau mereka tertular maka mereka akan menularkannya kepada orang lain.
PSK di pelacuran tertutup sering disamarkan sebagai ‘anak sekolah’, ‘ayam kampus’, ‘cewek salon’, dll. Apa pun namanya sehingga tidak menggambarkan PSK tapi mereka itu tetaplah sebagai orang yang berisiko tinggi tertular IMS dan HIV atau dua-duanya sekaligus karena mereka melakukan hubungan seks dengan pasangan yang berganti-ganti.
Sampai sekarang sudah banyak daerah (kabupaten, kota, dan provinsi) yang menelurkan peraturan daerah (Perda) yang melarang pelacuran dan penanggulangan HIV/AIDS. Tapi, hasilnya nol besar karena yang diatur tidak menyentuh inti persoalan yaitu upaya untuk mencegah penularan IMS dan HIV dengan cara yang masuk akal serta melindungi masyarakat. Perda-perda itu justru mengedepankan moral sebagai alat untuk mencegah penularan IMS dan HIV serta mengancam orang-orang yang menularkan HIV. Padahal, lebih dari 90 persen penularan HIV terjadi tanpa disadari.
Salah satu upaya untuk memutus mata rantai penyebaran IMS dan HIV melalui Perda adalah dengan mebuat ketentuan yang mewajibkan laki-laki memakai kondom jika melakukan hubungan seks, di dalam atau di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan, seperi PSK, baik di lokalisasi pelacuran maupun di pelacuran tertutup.
Salah satu contoh lokalisasi yang paling terkenal adalah lokalisasi Dolly yang ada di Surabaya yang merupakan salah satu lokalisasi terbesar di Asia Tenggara. Lokalisasi Dolly merupakan sebuah lokasi pelacuran yang menawarkan wisata malam dengan kenikmatan tersendiri dengan suasana malam yang begitu mencekam di wilayah tersebut. Hal ini pun dimanfaatkan oleh para penjaja cinta untuk mencari rejeki dengan menjual kenikmatan sesaat.  Lokalisasi ini telah ada sejak puluhan tahun lalu, bahkan konon sejak jaman penjajahan Belanda. Seorang teman pernah menemukan buku Sejarah Asal – usul Gang Dolly. Nama Dolly sendiri adalah nama depan mucikari kebangsaan Belanda kala itu, sehingga mungkin bisa dipercaya bila lokaliasasi ini telah ada sejak jaman baheula.
Ada  wacana dari pemerintah daerah untuk menutup lokalisasi tersebut karena Penyebaran Penyakit kelamin dan Virus HIV AIDS sudah sangat memprihatinkan. Sejak 2006 hingga 2010 ada 62 PSK di Gg.Dolly terindikasi terjangkit virus HIV, dan banyak PSK yang terjangkit penyakit kelamin. Ada berapa pria hidung belang yang kemudian terjangkit HIV dari PSK dan kemudian menularkan pada istri dan keluarga lainnya.
Tapi ada beberapa pertimbangan lain yang harus diperhatikan untuk menutup sebuah lokalisasi, dan memang penutupun sebuah lokalisasi sangatlah sulit karena:
1. Faktor Kemiskinan.
Kemisikan selama ini diyakini sebagai Faktor Primadona. Mencari uang dengan menjual kehormatan sebagai perempuan untuk membiayai hidup memang terdengar begitu memilukan, tapi itulah yang selama ini diyakini.
1. Perputaran uang yang luar biasa menggiurkan.
Dari Penelusuran seorang wartawan harian lokal di Surabaya yang saya baca, seorang warga mengatakan perputaran uang disini sangat menggiurkan. Kita ambil contoh retribusi saja. Setiap pelanggan dikenakan Retribusi yang katanya dikelola oleh RW setempat sebesar Rp.5000 / jam. Warga tersebut mengungkapkan paling tidak setiap PSK bisa melayani 4 pelanggan setiap harinya. Berarti setiap PSK bila dihitung telah memberikan kontribusi sebesar Rp.20.000/ hari, atau Rp.600.000/bln. Sedangkan menurut Data Puskesmas setempat jumlah PSK mencapai 1200-an orang. Berarti dari retribusi saja bisa menghasilkan uang sebesar Rp.720.000.000/bln. Itu baru dari retribusi, belum dari pungutan lainya seperti ijin mendirikan wisma, pemutihan usaha, pungutan plakat “TNI dilarang masuk” dan pungutan – pungutan lainnya. Si Mucikari sendiri, selain mendapat uang dari PSK, juga meraup keuntungan rata – rata Rp.10.000/botol dari botol Bir yang dijual. Dan masih banyak lagi.
2. Sudah mendarah daging.
Karena sudah ada sejak jaman Belanda, tentulah ini memiliki kesulitan sendiri. Warga sekitar sudah menggantungkan perekonomian dari sini sejak lama. Seperti Tukang Becak, Supir Taksi, Musisi, Warung – warung, dan banyak lagi. Sehingga penutupan Lokalisasi tidak hanya berdampak pada PSK dan Mucikari saja, tapi juga warga sekitar.
Walikota Surabaya sempat menolak penutupan Lokalisasi secara langsung. Beliau mengkhawatirkan, para PSK tersebut justru menyebar kemana – mana, di jalan – jalan, dan itu hanya akan menambah persoalan bagi Pemkot Surabaya. Apalagi banyak PSK Dolly yang bukan berasal dari Surabaya. Belum lagi warga sekitar yang sudah menggantungkan perekonomian dari bisnis esek – esek tersebut. Dikhawatirkan mereka akan menambah panjang permasalahan kesejateraan sosial yang belum diselesaikan di Surabaya.
Namun ada memberitakan rencana Pemerintah yang disampaikan oleh Wakil Gubernur Jawa Timur Gus Ipul. Gus Ipul menyatakan wacana penutupan tetap akan dilaksanakan secara bertahap hingga diharapkan 4 tahun lagi Gg.Dolly sudah benar – benar bisa ditutup. Selama ini Pemkot Surabaya telah mengadakan beberapa usaha seperti pembatasan PSK baru, pemberian kegiatan keagamaan, dan ketrampilan. Setelah ini Pemprov Jatim dan Pemkot Surabaya akan meningkatkan kegiatan – kegiatan tersebut, dan menambahkan beberapa program efektif lainnya, termasuk pemberian modal bagi para PSK. Diharapkan dengan modal tersebut, mereka bisa membuka usaha sendiri.
Menurut penulis, penutupan lokalisasi sangat berdampak baik dalam kehidupan sosial masyarakat akan tetapi perlu diperhatikan bahwa dengan adanya penutupan ini pasti berdampak kepada kehidupan masyarakat yang ada dilokalisasi, bukan hanya pekerja seks komersial (PSK) akan tetapi akan berdampak pada pendapatan para pedagang disekita kawasan tersebut. Pererintah perlu mempertimbangkan beberapa aspek jika ingin menutup lokaisasi, kebijakan yang di ambil pemerintah haruslah tepat, jangan sampai mengambi kebijakan yang instan tanpa pertimbangan karena kebijakan yang instan akan menghasilkan dampak yang instan pula.

DAFTAR PUSTAKA
Penulis pemerhati masalah HIV/AIDS melalui LSM (media watch) ”InfoKespro” Jakarta (E-mail: infokespro@yahoo.com)
Astrid Ayu Septaviani pada Oktober 26, 2010 in Perempuan dan Sosial Sekitarnya
www.google.com

Penulis

1 komentar: