Selasa, 30 September 2014

KORBAN 40.000 JIWA DI SULSEL

BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
            Dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan republic Indonesia, terutama pemuda-pemudanya yang sadar terhadap harga diri dan hak bangsa, serentak bangkit mempersatukan diri mengadakan aksi-aksi perlawanan terhadap setiap penghalang cita-cita kemerdekaan bangsa Indonesia.
Sebagai akibat aksi-aksi perlawanan rakyat Sulawesi selatan terutama pemuda-pemudanya yang sanagat merugikan pihak tentara belanda yang berusaha keras untuk mengembalikannya penjajahan dibumi Indonesia, maka salah satu peristiwa yang maha dahsyat yang tidak boleh dilupakan yaitu nilai pengorbanan 40.000 rakyat di Sulawesi, korban yang mempunyai arti dan nilai perjuagan yang dijadikan symbol patruotisme perjuangan demi kehidupan bangsa dan kelanjutan kemerdekaan RI.
Peristiwa tersebut mencapai puncak kehebatannya terjadi antara tanggal 10 desember 1946 sampai dengan 17 februaru 1947, pada operasi penbersihan yang dipelopori kapten R.P.P. Westerling dari korps special Troepen belanda ( KNIL) bersama-sama dengan kesatuan KNIL lainnya dan malah dengan kesatuan polisi dan pembantu-pembantunya termasuk pasukan Poke atau Pasoso yang diorganisir ioleh golongan Aristocrates dari dewan adat.
B.Rumusan Masalah
a.       Masuknya Tentara Sekutu dan reaksi awal masyarakat di Sulawesi Selatan
b.      Pernyataan SOB (Staat Van Oorlog en Beleg) atau Keadaan Darurat Perang
c.       Kedatangan Kapten Paul Pierre Westerling di Sulawesi Selatan
d.      Pembantaian Rakyat di Sulawesi Selatan
e.       Perlawan Rakyat Sulawesi Selatan diberbagai daerah
f.       Makna dan Hakekat Korban 40.000 Jiwa di Sulawesi Selatan
BAB II
PEMBAHASAN
A. Masuknya Tentara Sekutu dan reaksi awal masyarakat di Sulawesi Selatan
            Pada tanggal 23 September 1945 mendaratlah tentara Australia sebagai salah satu bagian dari tentara sekutu, dan bersama mereka membonceng pula aparat belanda yang terkenal dengan NICA (Netherlands Indische Civil Administration) yang mempunyai tugas khusus untuk mengembalikan penjajahan belanda di Indonesia, dengan diam-diam NICA membangun pemerintahan sipil yag dipusatkan kepada kantor gubernur Sulawesi selatan. Dalam pembentukan pemerintahan sipil oleh NICA ini adalah selain dengan aparat yang dipersiapkannya pada akhir perang dunia ke 2 di Australia juga membujuk pamom praja dengan pemberian pangkat yang tinggi-tinggi serta gaji lumayan.
            Sebagai langkah pertama dalam usahanya memancing simpati dan perhatian rakyat dengan melelui badan yang khusus mereka bentuk untuk itu yakni bagian penerangan yang bernama R.V.D. (Regerings Voorlichting Dienst) dengan tugas menyebarkan pamflet-pamflet yang bernada menjelek-jelekkan republic Indonesia dan yang di dongeng-dongenkannya bahwa republic Indonesia adlah ciptaan dan hadiah dari boneka-boneka jepang. Selain itu bertujuan pula untuk memperkuat pemerintahannya yang telah mereka bentuk dengan mengecilkan arti pemerintah republic di Sulawesi selatan yang telah ada sebelumnya dan telah mewujudkan pengambilalihan beberapa kekuaasaan dari banda-badan resmi jepang yang keseluruhannya mendapat dukungan terutama pemuda-pemuda simpatisan-simpatisan, kepala-kepala pemerintah dipedalaman serta kepala-kepala adat dan lain-lainnya.
            Pemerintah republic Indonesia di dulawesi selatan yang dipimpin oleh gubernur Ratulangi adalah merupakan lambing kekuasaaan republic Indonesia yan menjadi pegangan bagi seluruh rakyat, para pemimpin dan raja-raja khususnya di Sulawesi selatan. Dan untuk memperkokoh benteng pertahanan dalam menghadapi kegiatan-kegiatan NICA, maka gerakan-gerakan menanamkan benih kemerdekaan digiatkan sedemikian rupa yaitu antara lain beberapa tokoh pemimpin yang merupakan staf pemerintahan RI provinsi Sulawesi yang terdiri dari Lanto Daeng Pasewang, Hajarati, abdul madjid dan sebagainya mengadakan perjalanan perjalanan di pedalaman Sulawesi selatan untuk lebih membulatkan tekad dan menginsyafkan rakyat bahwa kemerdekaan itu adalah merupakan perjuangan suci dan mulia.
            Demikian obor kemerdekaan kian hari kian menyala di dada rakyat terutama pemuda-pemuda, aksi-aksi pemogokan sabotase, blockade ekonomi terhadap belanda dan aparatnya utamanya di kota Makassar, dilakukan dan pemuda-pemudalah yang memegang peranan penting menjaga sepanjang pantai dan poros-poros lainnya agar segala bahan makanan baik yang diangkut dengan perahu maupun angkutan-angkutan lainnya, dicegah agar tidak jatuh di tangan belanda.
            Raja-raja di Sulawesi selatan mempersatukan pendirian terhadap tindakan-tindakan untuk menghadapi NICA, dan salah satu putusannya adalah berupa pernyataan tetap setia terhadap republic Indonesia dan akan tetap mempertahankannya dengan kegiatan-kegiatan yang dilakukan baik oleh pemimpin-pemimpin, pemuda-pemuda ,maupun raja-raja dengan pernyataan itu, makin menambah kokohnya kedudukan republic Indonesia dengan pemerintahannya di Sulawesi dibawah pimpinan Dr. G.SSJ. Ratulangi sebagai Gubernurnya sehingga belanda pada situasi yang tidak menguntungkan itu mengajak pemerintah Republik Indonesia di Sulawesi untuk berunding, tetapi ditolak terutama golongan pemuda-pemuda sebagaimana yang diucapkan oleh gubernur Dr. ratulangi pada waktu itu “ memang suatu waktu orang bisa mentaati hasrat pemuda” dalam situasi yang tegang ini pihak NICA ingin segera usaha dan cara membuat pancingan-pancingan baik terhadap rakyat lebih-lebih kepada pemimpin-pemimpin dengan maksud menggoyahkan pendirian bagi yang tidak kuat imannya, cara-cara yang digunakan antara lain di bidang politk yaitu pecah belah antara pimpinan dengan pimpinan, pimpinan dengan rakyatnya sedang di bidang ekonomi dengan aparat NIGIEO (Nederlands Indisch Gemeenschappelijk Import Export Organisatie) serta kantor-kantor distribusi dan peredaran uang NICA nya karena praktis kegiatan ini bertujuan mengecilkan arti republic bagi rakyat banyak dan untuk lebih mengokohkan kekuasaannya dengan pemerintah yang telah dibentuknya itu. Politik adu domba dilangsungkan tidak hanya antara pemimpin tetapi juga antara rakyat dimana pada puncaknya berhasil menimbulkan peristiwa ambon di Makassar yang dimulai dengan tindakan provokatif KNIL suku ambon yang berkedudukan di Fort Rotterdam dengan sepasukan KNIL terdiri dari satu pleton mengendarai empat truk mengadakan penembakan terhadap pemuda dan rakyat dipinggir jalan sepanjang Lajangiru, Maccini, dan Maricaya di kota Makassar pada tanggal 2 oktober 1945.
            Tentara belanda menjalankan siasat ampuh mengadakan kontak dengan pihak raja-raja atau golongan bangsawan atau intelektual, bahwa mereka akan membangun kembali Indonesia yang telah hancur ditindas dan diperas oleh facisme jepang. Ternyata perhitungan NICA meleset, mereka lupa bahwa diujunga abad 20 adalah kebangkitan bangsa-bangsa kilit berwarna terutama di asia dan di afrika secara serentak bergolak untuk melepaskan diri dari cengkraman dari imprealisme, kolonialisme dan kapitalisme. Rupanya imprealisme belanda pada saat itu, tidak begitu tajam meneropong gerak dari perubahan dan peralihan sejarah di benua asia utamanya di asia tenggara persisnya di Indonesia.
            Namun demikian, belanda terus berusaha menanamkan pengaruhnya diantaranya adalah mengadakan konferensi malino pada tanggal 16 juli 1946 yang dihadiri oleh wakil-wakil dari irian barat (new guinea), Maluku utara dan selatan, timur, flores, Sumbawa, Lombok, bali riau, Bangka Belitung, borneo barat/selatan/timur, sangir talaud, minahasa, goromtalo, minahasa, Sulawesi utara/tengah/selatan dan tenggara.
            Konferensi malino melahirkan keputusan-keputusan penting sebagai berikut:
1.      Negara Indonesia nanti harus berbentuk federal
2.      Sebelum Negara federal itu dibentuk harus dilalui masa peralihan, selama itu kedaulatan masih ada di tangan belanda
3.      Biarpun Negara pederal ini merdeka, tetapi harus ada hubungannya dengan Negara belanda
Menurut dokumen politik belanda, bahwa konferensi malino sebagai realisasi pidato ratu belanda tahun 1942 untuk memberikan hak menentukan nasib sendiri kepada hindia belanda. Bagaimanapun diputarbalikan, kenyataan menyatakan lain semuanya adalah kedok imprealisme dan kolonialisme belaka untuk meneruskan penjajahannya di bumi ini. 
B. Pernyataan SOB (Staat Van Oorlog en Beleg) atau Keadaan Darurat Perang
            Perjuangan membela dan mempertahankan kemerdekaan Repblik Indonesia di Sulawesi Selatan, bukan hanya ditempuh melalui diplomasi tetapi juga lewat perlawanan bersenjata.Hal itu dibuktikan dengan berdirinya orgaisasi kelasykaran dan organisasi politik. Kegagalan gerakan pemuda merebut tempat-tempat strategis yang dikuasai NICA di kota Makassar tangga 29 oktober 1945, dan makin sulitnya perjuangan melalui dipolomasi politik, tidak melemahkan semangat pejuang pemuda pemudi melawan NICA menghidupkan kembali kekuasaan pemeritah di Sulawesi Selatan. Jiwa dan semangat mereka makin kooh dalam melawan NICA melalui organisasi-organisasi kelasykaran.
            Sejak itu gerakan pemuda pejuang kemerdekaan Republik Indonesia beralih ke luar kota Makassar atau daeah pedalaman. Perjuangan bersenjata tersebut berhasil diorganisir berkat dorongan jiwa dan semangat revolusioner para pemuda perjuangan kemerdekaan, sehingga dapat menarik sebagian tokoh-tokoh masyarakat setempat berpihak pada Republik Indonesia, serta dukungan pengaruh dan kewibawaan serta sikap beberapa bangsawan tinggi di Sulawesi Selatan sejak awal bertekad memperjuangkan terwujudnya Negara Kesatuan Republik Indonesia yang telah diproklamasikan. Hal ini sangat besar pengaruhnya terhadap perlawanan bersenjata di Sulawesi Selatan dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan dan kedaulatan bangsa Indonesia.
            Selain itu, hadirnya utusan Sulawesi Selatan di Jawa mendorong pemerintah pusat dan pejuang-pejuang RI di Jawa membentuk pasukan bantuan (TRIPS) yang kelak akan di kirik ke Sulawesi Selatan. Kehadiran TRIPS dari Jawa yang membantu perjuangan rakyat di Sulawesi Selatan menambah semangat juang perlawanan rakyat terhadap NICA. Kenyataan itu merupakan salah satu sebab yang mengharuskan pihak NICA ( Belanda) mendatangkan pasukan bantuan di Sulawesi Selatan, baik yang langsung didatangkan dari negeri Belanda yakni divisi 7 desember maupun dari Jawa yaitu Detasemen Speciale Troepsen (DST) di bawah pimpinan Westerling untuk meredam perlawanan rakyat Sulawesi Selatan. Pemerintah Belanda selanjutnya mengeluarkan perintah keadaan darurat perang atau SOB (Staat Van Oorlog en Beleg) tanggal 11 desember 1946, yang bukan hanya berlaku untuk afdeling Makassar, Pare-Pare, Bantaeng, dan Mandar saja tetapi di seluruh wilayah Sulawesi Selatan. Perintah keadaan darurat perang yang diumumkan oleh belanda itu dilaksanakan dalam bentuk aksi pembersihan yang berakibat jatuhnya korban jiwa yang tidak sedikit.
C.Kedatangan Kapten Paul Pierre Westerling di Sulawesi Selatan
            Di bulan terakhir tahun 1946 dapat dikatakan bahwa seluruh Sulawesi selatan telah jatuh ke tanga NICA, akan tetapi bukan berarti belanda sudah merasa aman dan tentram dimana-mana. Praktis yang dikuasai hanya di dalam kota saja. Semua sector terdapat kubu-kubu pertahanan gerilya kita. Sewaktu-waktu gerilya mengadakan penculikan-penculikan dan penghadangan-penghadangan yag mengakibatkan korban-korban di piak belanda. Cara dan taktik gerilya para pejuang  benar-benar memusingkan belanda. Selain itu mata-mata (spion melayu) NICA telah mencium rentan pendaratan-pendaratan dari ekspedisi dari Tentara Rakyat Indonesia (T.RI.) dari Yogyakarta yang tergabung dari organisasi brigade 16 yang dipimpin oleh kahar muzakkar dan kesatuan ALRI sebrang dipimpin andi rachmad ariessalah seorang pendiri ALRI.
            Ekspedisi pertama mendarat di tanah Mandar di mangkoso oleh kapten andi sarifin bersama andi sapada dan Muh. Daeng Patompo, di suppa oleh mayor M. Saleh Lahade bersama andi oddang dan Achmad Lamo dan di barru oleh mayor andi mattalatta bersama dengan Alim Bachri dan Bachtiar. Ini 6terjadi pada kuartal akhir 1946. Pendaratan berikutnya Januari 1947 di Bulo-Bulo oleh letnan Bakri dan A.R. Makmur, di Kajuara Bone oleh Andi  Mumang Yusuf dan maret 1947 pendaratan selalu dibumbui dengan pertempuran-pertempuran sengit, sehingga bertambah gelisah dan rawan menghadapi 2 kekuatan, yaitu serangan-serangan oleh TRI dari Jawa dan gempuran-gempuran Gerilya dari dalam hutan ke tangsi –tangsi Belanda.
            Keadaan ini membuat belanda khawatir akan kekuatan dan kemampuan militernya, akhirnya mendatangkan baret merah divisi 7 desember dipimpin kapten Westerling. Pertempuran di kampong camba pada 4 desember 1946, Belanda kehilangan beberapa serdadunya sehingga mempercepat datangnya bala bantuan dari Jawa untuk membalas dendam kepada pemuda-pemuda pejuang dan rakyat Sulawesi Selatan. Tepat 7 desember 1946 Westerling dengan pasukan baret merahnya mulai mengadakan penembakan-penembakan terhadap puluhan orang yang tidak berdosa di dalam kampung di kota Makassar, terutama di distrik Mariso dan ujung tanah pembakaran rumah-rumah penduduk, pencabutan jiwa pemuda pejuang, perampasan harta-harta rakyat berlangsung hingga 10 desember 1946.
D. Pembantaian Rakyat Sulawesi Selatan oleh Kapten Westerling
            Setelah Westerling ditugaskan di Makassar oleh pemerintah Belanda awan mendung mulai menyelimuti sejarah perjuangan kita.40.000 rakyat Sulawesi Selatan meregang nyawa akibat pembersihan yang tidak berperikemanusiaan yang dilakukan oleh Kapten Westerling. Adapun kronologis pembantaian rakyat adalah sebagai berikut:
1.      11 Desember 1946, secara resmi Westerling dan baret merahnya mengadakan pembersihan di dalm kota. Pada hari itu juga Westerling memberangkatkan pasukan sebanyak 3 buah perahu di daerah Limbumg (Gowa) berbendera merah putihdan mendarat di tanjung bunga. Rakyat Limbung berbondong-bondong menyambut di pantai, disangkanya TRI dari Jawa, setelah mendarat rakyat dipaksa untuk menunjukkan tempat-tempat persembunyian TRI, di daerah Gowa. Rakyat tetap setia terhadap TRI tidak ada rahasia yang dibocorkan, hantu-hantu belanda marah. Pertunjukan maut dimulai, peluru—peluru berdesing meninggalkan larasnya, rakyat rebah bergelimpangan tanpa proses demi untuk menunutk hak yang bernama kemerdekaan mereka gugur satu demi satu. Baret merah melanjutkan perjalanan ke selatan dan menembaki rakyat setiap kampung yang dilewati. Mungkin lebih sukar membunuh ayam ketika itu dari pada membunuh manusia. Di bukit sambung Jawa mencabut lagi 89 jiwa penduduk. Demikianlah hantu-hantu Belanda yangt bernapaskan peluru maut berjalan terus seperti drakula yang haus darah.
2.      12 desember 1946 Westerling dengan pasukannya menyerbu Bulukimba dari dua jurusan yaitu dari Bantaeng dan Sinjai. Di perbatasan Bantaeng dan Bulukmba, baret merah menembak semua yang bernyawa. Kalau ada rakyat yang serombongan menuju ke pasar, semuanya di sikat habis. Di distrik Gantarang (markas pemberontakan rakyat melawan penjajah di bulukmba) menderita korban yang terbanyak. Keseluruhan dalam satu hari saja meliputi ratusan jiwa di kirim ke akhirat tanpa perangko yang sebenarya.
3.      14 desember 1946 Westerling kembali ke Makassar dan langsung mengepung kampung Kalukuang. Semua laki-laki, peremupan, anak-anak, kakek nenek di atas rumah diperintahkan berkumpul di lapangan. Rakyat diperiksa satu per satu sekedar penundaan waktu untuk mempersiapkan penembakan-penembakan secara kelompok. Sebagian menggali lubang, sebagian mengangkat mayat, kemudian pengangkat-pengangkat mayat tadi di berondong peluru dan rebah masuk lubang yang menganga lebar menanti korban-korbannya. Hari itu menurut catatan harian seseorang yang berhasil lolos dari maut tidak kurang dari 1000 jawa melayang di Kalukuang. Masa terror hanya 12 jam saja dari fajar hingga senja hari.
4.      16 desember 1946, kampung Jongaya di sebelah selatan kota Makassar mendapat giliran. Caranya lain lagi, tengah malam penduduk dibangunkan dari tidurnya yang nyenyak. Di pagi buta rakyat bekerja di pelabuhan Makassar, begitupun pegawai-pegawai dan guru-guru bergegas menuju tempat tugasnya masing-masing tiba-tiba di hadang oleh pasukan pencabut nyawa alias Westerling penentu jiwa manusia ketika itu. Siapa saja yang lewat, semua digiring kelapangan dekat masjid. Setelah lapangan mulai sesak dengan manusia, algojo Westerling muncul dengan sepasang pistol-pistolnya. Serta merta pembantaian manusia dimulai dengan senjata-senjata otomatis. Hamper 2000 jiwa melayang dalam beberapa hari, siapa saja yang memiliki lencana dan bendera merah putih serta tanda anggota PNI sudah cukup alasan digiring ke lapanga dan tamatlah riwayatnya.
5.      8 januari 1947, banjir darah di sepuluh kampung, yaitu di daerah Bonto Ramba, Paitanang, Sapanang, Bulo-bulo, Palumbangan Lentu Palaju, Arungkeke, Togo-Togo, Bangkala, Taroang, dan Laju. Rakyat bergantian rebah ketanah diterkam oleh Macan Westerling. Tindakan ini adalah pembalasan sewaktu diserang dan diusir dari Bulo-bulo oleh pasukan TRI yang barui mendarat dari Jawa pada 7 januari 1947
6.      28 januari 1947, Westerling membunuh Andi Makkasau dan Andi Abdullah Bau Maseppe dengan menenggelamkan di laut dan diseret dibelakang mobil sampai mati. Suatu kekejaman yang menodai peradaban manusia.
7.      1 februari 1947. Pembersihan di Mandar, juga oleh Westerling di kampung Paputta dan Galung Lombok. 500 orang yang baru ditangkap kemarin, hari itu dijejer dekat lubang, kemudian disapu dengan senapan mesin. Tanggal 2 februari 1947, adegan maut dilanjutkan di Tinambung-Balannipa tepat pada hari pasar. Baret merah belum puas, operasi diteruskan di Pare-pare. Sekian ratus jiwa melayang lagi.
8.      5 Februari 1947 di Pamboang Mandar
9.      17 Februari 1947 di kampung Lisu-Tanete-Barru 49 orang.
Dari sejumlah opersai pembersihan tersebut barulah berupa tangal dan tempat peristiwa yang diketahui sedangkna jumlah korban dan penembakan yang pasti serta nama-nama dari yang bersangkutan sebagian besar belum lagi ditemukan dan masih dalam proses penelitian lebih lanjut, terlebih pada operasi pembersihan yang dilakukan oleh pasukan KNIL di seluruh daerah-daerah termasuk polisi.
Menurut laporan dokumen-dokumen hidup, dalam beberapa minggu saja.Belanda telah mengorbankan 10.000 jiwa penduduk yang tiada berdosa.Ini meliputi sector selatan. Di sector utara meliputi Mandar, pinrang, pare-pare, barru, soppeng, maros, dan camba, mencapai 5000 orang. Di daerah Luwu dan Sulawesi Tenggara mendekati 2000 orang.
Berikut adalah daftar  korban yang tersebar di Sulawesi Selatan:
1.      Sebgkang dan Soppeng                                  : 20 orang yang terdaftar
2.      Bone                                                                : belum terdaftar
3.      Jeneponto                                                        : 195 rang yang terdaftar dari GMT/LAPTUR
4.      Bulukmba                                                        : 37 orang
5.      Majene                                                                        : Belum terdaftar
6.      Polewali                                                          : 15 orang yang terdaftar
7.      Palopo, Masamba, Mangkutana                      : 121 orang yang tercatat gugur tahun 1950
8.      Enrekang                                                         : Belum terdaftar
9.      Pare-Pare, Sidrap, dan Barru                          : 458 orang kelasykaran Ganggawa/ BPR H.I KRIS, expedisi TRI dan ALRI
10.  Ranrepao-Tator                                               : 27 Orang yang terdaftar
11.  Goa, Malino, Tombolo                                    : 203 orang yang terdaftar dari kelasykaran H.I GMB/ Lipang Bajeng PPNI, KRIS, ekspedisi TRI
12.  Makassar                                                         : 285 orang dari kelasykaran H.I GMB/ Lipang Bajeng dan expedisi TRI

E. Perlawan Rakyat Sulawesi Selatan di Berbagai daerah
1. Afdeling Makassar
            Setelah gagalnya perlawanan para pejuang RI, khususnya pemuda di kota Makassar tanggal 29 Oktober 1945 maka mereka meninggalkan kota itu dan menyingkir ke daerah pedalaman untuk membangkitkan jiwa dan semangat perjuangan rakyat serta mengorganisir wadah kekuatan bersenjata dalam melakukan perlawanan terhadap NICA. Para pemuda pejuang kemerdekaan RI mengalihkan kegiatan perjuangannya ke sebelah selatan kota Makassar, seperti daerah Polong Bangkeng dan sekitarnya sebagai pusat perlawanan bersenjata yang kuat dalam melawan NICA. Demikian pula jiwa dan semangat perjuangan rakyat Polong Bangkeng dan sekitarnya yang sejak awal telah bertekad untuk mempertahankan kemerdekaan makin bangkit ketika pemuda-pemuda pejuang dari Makassar dating ke daerah itu untuk bergabung dalam rangka memperjuangkan terwujudnya Negara kesatuan republic Indonesia yang telah diproklamasikan. Kehadiran pemuda-pemuda pejuang yang tiba Polong Bangkeng dan daerah sekitarnya bukan saja memperkuat organisasi perjuangan di daerah itu sebagai pusat perjuangan bersenjata yang gigih dan yang paling lama di Sulawesi Selatan tetapi juga merubah taktik perjuangan kea rah yang lebih ofensif. Sejak itu serangkaian peristiwa pertempuran antara para pemuda yang tergabung dalam berbagai organisasi kelasykaran dengan serdadu KNIL penyergapan, penghadangan serta aksi-aksi sabotase lainnya dilakukan oleh para pemuda pejuang terhadap aparat-aparat NICA dan kaki tangannya di wilayah afdeling Makassar.
            Umtuk mewujudkan taktik perjuangan yang lebih matang, maka dalam pertemuan uang diselenggarakan tanggal 15 dan 17 desember 1945, para pemuda pejuang memutuskan akan melancarkan seranga ke kota Makassar. Berdasarkan keputusan itu, para pemuda pejuang di bawah pimpinan Syamsudin Daeng Ngerang melakukan penyerangan akhir bulan Desember 1945 berkekuatan kurang lebih 500 orang pejuang yang bekerja sama dengan organisasi-organisasi pemuda yang masih bertahan di kota Makassar. Sasaran serangan itu adalah markas tentara KNIL di tangsi KIS. Namun dalam perjalanan ke Makassar para pemuda pejuang bertemu dengan patrol KNIL di baling baru Jongayya, di pinggiran kota Makassar sehingga terjadi pertempuran antara kedua belah pihak. Dalam peristiwa itu, pihak pejuang berhasil menghancurkan dua buah mobil patrol KNIL, namun 2 pejuang gugur dan beberapa pemimpin mereka di tawan. Serangan dilancarkan oleh pemuda itu dapat digagalkan pasukan KNIL sehingga mereka mengalihkan aksi perlawanan menjadi aksi sabotase, seperti pemutusan kawat telefon, pembakaran gudang, dan pertempuran kecil di kota Makassar.
            Karena peristiwa baling baru tersebut, pasukan NICAkeluar melakukan patroli dan menyerbu markas pejuang di Batunipa, Polombangkeng, tanggal 7 januari 1946.Serangan tersebut mendapat serangan dari pemuda pejuang yang tergabung dalam gerakan pemuda Bajeng di bawah pimpinan Makkaraeng Daeng Mandjarungi.Dua orang gugur di pihak musuh sedangkan lascar GMB tidak ada yang mengalami korban jiwa.Tanggal 19 februari 1946, pasukan NICA melancarkan lagi serangan di kubu pertahanan pejuang Bajeng di polombangkeng.Serangan NICA itu mendapat perlawanan dari pemuda pejuang di bawah pimpinan karaeng polombangkeng, Padjonga Daeng Ngalle dan berhasil memukul mundur pasukan NICA, dua orang anggota lascar gugur di pihak GMB.
            Setelah kedua serangan militer pasukan NICA terhadap kubu-kubu pertahanan GMN di polombangkeng tersebut, maka serangkaian pertempuran antara kedua belah pihak berlangsung pada hari-hari berikutnya.Tanggal 21 februari 1946, sekitar 100 pemuda pejuang di bawah pimpinan Ranggong Daeng Romo menyerang polisi NICA yang berpatroli di Pappa Takalar. Tanggal 22 februari 1946, pertempuran pecah antara pemuda pejuang pimpinan Ranggong Daeng Romo dengan pasukan KNIL di Bontocinde, pertempuran di malaka tangga 23 februari 1946, dan pertempuran di Palleko tanggal 25 februari 1946.
            Tanggal 1 Maret 1946 para pemuda pejuang di bawah pimpinan Ranggong Daeng Romo yang berkekuatan 1 peleton yang bersenjata lengkap dan didukung satuan pasukan bersenjata tombak dan pelontar geranat yang terlatih, menghadang dan menyerang sebuah mobil patrol serdadu KNIL di sekitar jembatan Parririsi. Kontak senjata terjadi antara kedua belah pihak dan korban jatuh di pihak lawan, 14 pucuk senjata beserta pelurunya berhasil direbut.Sejak peristiwa itu, pasukan NICA gita melancarkan serangan ke kubu-kubu pertahanan para pemuda pejuang. Pertempuran pertempuran berikutnya hamper terjadi setiap bulan sepanjang tahun 1946 dan korban dari kedua belah pihak saling berjatuhan.
            Tanggal 16 Desember 1946 Aspirant Controleur Gowa R.F. Westhoof melakukan perjalanan dinas di daerah Tombolo yang dikawal beberapa polosi NICA. Dia membawa pangan dan pakaian untuk dibagi-bagikan kepada rakyat yang dianggap memihak NICA. Ketika mereka tiba di Tombolo, para pejuang di bawah pimpinan karaeng Pado bermaksud menyerang dan merampas senjata-senjata mereka, namun atas anjuran kepala disrtik Pao, A.B. Makkupalle, maksud tersebut ditangguhkan karena daimbapat mengorbankan rakyat banyak. Atas pertimbangan itu, para pemuda pejuang memutuskan menghadangnya beserta beberapa pengawalnya di  Buluballea. Para pemuda pejuang di bawah pimpinan Karaeng Pado, bersenjata badik, keris, tombak, dan parang melakukan penyerangan. R.F. Westhoof terbunuh bersama beberapa pengawalnya, dan beberapa pucuk senjata berhasil dirampas.Dalam penyergapan itu karaeng Pado gugur.
            Setelah peristiwa tersebut, malam tanggal 17 Desember 1946 seorang kurir dipeintahkan menghubungi 2 polisi bumi putra yang bertugas di penjara Malino bernama Sattu Bampa dan Nya’la Kacing. Keduanya diperintahkan agar esok pagi melarikan diri berbekal senjata beserta para tahanan yang berada dalam pengawasan keduanya.Kedua polisi bumi putra itu bersedia memenuhi keinginan para pejuang dan siap melaksanakan perintah itu. Dini hari tanggal 18 Desember 1946, Sattu Bampa yang berbekal sepucuk senjata Stan Gun dan Nya’la Kacing yang membawa sepucuk senjata Karaben Jepang serta 40 orang tahanan berhasil melarikan diri dari penjara Malino. Selanjutnya mereka bergabung dengan para pejuang di kampung Longka, markas perlawanan pejuang, dan bersiap-siap melancarkan serangan umum terhadap kedudukan NICA di Malino. Rencana serangan umum itu mengerahkan sekitar 500  orang pejuang di bawah pimpinan R. Endang di pos-pos NICA di Malino malam tanggal 18 Desember 1946, namun kurang membuahkan hasil. Pihak Belanda mengirim bantuan pasukan sebanyak 9 truk serdadu KNIL dari Makassar.
            Pernyataan keadaan darurat perang (S.O.B) yang disusul aksi pembersih oleh Westerling dan anak buahnya ternyata tidak melemahkan jiwa dan semangat perjuanga rakyat Sulawesi Selatan dalam menentang Belanda, bahkan makin gigih terhadap upaya NICA yangt hendak membangun kembali pengaruh dan kekuasaan pemerintah colonial Belanda di daera ini, terlebih lagi LAPRIS telah menjalin kerja sama dengan pasukan TRIPS yang tiba dari Jawa di bawah pimpinan letnan A.R. Makmur Sitakka dan Letnan M. Bachri yang mendarat di daerah Jeneponto. Buktinya, tanggal 23 Januari 1947 gabungan pasukan LAPRIS dan TRIPS yang antara lain dipimpin oleh R.W. Monginsidi, Letnan A.R Makmur Sitakka, Bapa Jawa, dan Mino mengomandoi penyerbuan pos-pos militer NICA di kota Makassar dan sekitarnya. Serangan gabungan pasukan LAPRIS dan TRIPS berkekuatan sekitar 100 orang pasukan itu mendapat perlawanan dari serdadu-serdadu KNIL dan kaki tangan NICA di Batua. Korban berjatuhan di pihak LAPRIS dan TRIPS, dan yang selamat melarikan diri ke Polombangkeng. ,
            Sejak peristiwa di Batua tersebut aktvitas perlawanan pasukan LAPRIS mulai agak menurun karena sebagian pemimpinnya gugur dan tertawan, dan kebanyakan senjata mereka dirampas musuh, di tambah lagi operasi pembersihan semakin merajalela dilakukan oleh Westerling dan para anak buahnya di bawah payung SOB.
            LAPRIS yang selama ini yang mengorganisir para pejuang dalam melakukan perlawanan terhadap NICA merupakan salah satu ancaman Belanda dalam upaya memulihkan kekuasaannya di daerah ini.Karena itu, tanggal 27 Februari 1947, serdadu KNIL menyerbu markas LAPRIS di Langgase.Serangan serdadu-serdadu KNIL ini dihadapi oleh pasukan LAPRIS yang dipimpin langsung oleh panglima LAPRIS Ranggong Daeng Romo.Pertempuran tak terelakkan antara kedua belah pihak. Markas LAPRIS di bakar dan Ranggong Daeng Romo bersama 9  anak buahnya gugur. 
2. Afdeling Pare-Pare
            Perjuangan yang dilakukan di Pare-Pare dipimpin oleh Andi Makkasau. Hal ini terjadi karena teentara sekutu yang mendarat di kota Pare-Pare semakin condong membantu tentara NICA seperti usaha NICA mengedarkan uang Belanda dan mendatangkan bahan-bahan keerluan sehari-hari kemudian NICA memberikan kepada orang tertentu untuk dijual di bawah harga. Propaganda ini menarik perhatian orang-orang yangbtidak teguh pendiriannya, bahkan sudah ada diantara mereka yang membantu NICA yang tentunya merugikan perjuangan bangsa. Sebagai langkah yang ditempuh para pejuang untuk mengimbangi kegiatan NICA tersebut dengan cara:
a.       Andi Makkasau sesudah shalat Jum’at di masjid Jami’ menyampaikan kepda jamaah masjid bahwa kita harus meningkatkan persatuan karena kita sudah ditantang musuh atau NICA, maka dianjurkan agar rakyat memboikot orang-orang yang membelanjakan uang NICA dimana mendapat sambutan baik, yakni keesokan harinya serentak para penjual di pasar tidak ada yang mau menerima uang NICA.
b.      Andi Abdullah Bau Maseppe secara diam-diam memerintahkan kepada beberapa pedagang beras untuk menjual berasnya di Kalimantan Timur yaitu Balikpapan dan berusaha membeli senjata api. Perintah ini cukup membawa hasil berupa beberapa senjata api dapat di bawa ke Sulawesi Selatan dengan mendaratkan perahunya di daerah Suppa yang diterima oleh Andi Selle, selanjutnya menhkoordinir para pemuda untuk bergerak di bawah tanah dan memerintahkan bekas Heiho untuk melatih pemuda-pemuda menggunakan senjata api.
Dengan adanya kesiapan pemuda –pemuda beserta bekas Heiho untuk mengadakan aksi atau gerakan, maka disiapkan perlengkapan secukupnya (beberapa pucuk senjata dan granat) untuk digunakan mengacaukan kota. Senjata-senjata tersebut, sebagian diperoleh dari bantuan pasukan ekspedisi TRIPS yang berhasil mendarat di Suppa seperti letnan Abdul Latif, Andi Manjulai, dan Muhammad Tahir Daeng Tompo. Pada akhir September 1946, pemuda-pemuda tersebut melakukan aksinya mengacaukan kota. Letusan granat, tembakan pistol terdengar dimana-mana pada malam hari, gangguan-gannguan pada pos-pos NICA semkin meningkat.
Pengacauan yang tidak terduga-duga menyebabkan NICA bertambah marah, yang berakibat semua orang yang dicurigai ditahan tanpa alasan yang jelas. Patrol-patroli polisi militer belanda yang dipimpin oleh sersan Onken dengan beberapa temannya, siang malam berkeliling kota menyelidiki dan menangkap keluarga-keluarga yang dicurigai. Aksi NICA yang dilaksanakan dengfan tidak berperikemanusiaan itu di tandingi oleh pihak gerilyawan dengan mengadakan penghadangan patrol-patroli NICA dijalan-jalan raya, dengan demikian kekacauan semakin meluas, karena selain dalam kota pare-pare dan Suppa, juga didaerah sidenreng, rappang dan barru tentara NICA mendapatkan perlawanan yang sengit. Pergolakan kota pare-pare dan sekitarnya dipelopori oleh tiga kelaskaran yang benar-benar mempunyai kekuatan bersenjata, yakni BPRI, BP GANGGAWA dan HI.
Dengan kekacauan di daerah Sulawesi Selatan pada umumnya sudah tidak dapat lagi diatasi oleh NICA. Menurut Edward L.Poelinggomang dinyatakan bahwa telah terjadi hunungan kerja sama antar pejuang di daerah ini dengan pemerintah republic di Jawa. Juga kelaskaran-kelaskaran di daerah ini semakin terorganisir dalam wadah perjuangan LAPRIS dan bahkan telah direncanakan membentuk divisi Tentara Republik Indonesia (TRI) di Sulawesi Selatan.
Kenyataan itu mendorong pihak Belanda mengusahakan pasukan untuk membantu memulihka kekuasaan di Sulawesi Selatan.Demi keberhasilan program politik federasi maka dikirmlah pasukan bantuan ke Makassar.Pada awal Desember 1946 tiba battalion tebtara Belanda dari divisi 7 Desenber yang didatangkan langsung dari negri Belanda. Kemudian menyusul dikirim satu pasukan khusus yang dikenal dengan sebutan Depoot Speciale Tropen (DST) yang dipimpin oleh Westerling dan tiba di makassar pada 5 Desember 1946 (menurut buku “ Monumen Sejarah Perjuangan Bangsa di SulSel).
Pasukan khusus yang dipimpin oleh Westerling itu sesungguhnya telah dipersiapkan bula Juli 1945. Karena itu sebelum mendapat perintah untuk berangkat ke Makassar dengan tugas memberantas dan membinasakan terror yang telah dilakukan ole kelaskaran rakyat pada bulan November (Ijzereet, 1984;95), oia telah mengutus sebagian pasukannya yang telah dikomandani oleh Vermaulen untuk melakukan pengumpulan keterangan-keterangan tentang keadaan di Sulawesi Selatan. Berdasarkan pada keterangan yang dihimpun itu Westerling berkesimpulan bahwa pusat perlawanan yang paling kuat adalah di daerah Polombagkeng (Afdeling Makassar) dan di Suppa (Afdeling pare-pare). Cara untuk menumpas perlawanan itu harus dilakukan dengan tindakan kekerasan militer, tindakan tandingan yang tegas dan      keras yang dengan system yamg ia istilahkan (Standrecht) yaitu metode menggiring penduduk untuk berkumpul di tempat-tempat umum, dan kepada mereka yang diperkirakan mengetahui anggota kelaskaran rakyat diperintahka menunjukkan pemuda pejuang kelaskaran yang langsung diadili di tempat, dijatuhi hukuman, dan ditembak mati dihadapan rakyat banyak yang berkumpul itu. Metode Westerling itu mendapatkan persetujuan dari pihak Belanda di Batavia, karena Van Mook hanya memikirkan bagaimana cara untuk mensukseskan politik federasinya, itulah sebabnya pada tanggal 11 desember 1946 Van mook sebagai Letnan gubernur jendral mengeluarkan surat keputusan No. 1 yang berisi pernyataan keadaan perang (SOB) belaku untuk afdeling Makassar, Bantaeng, Pare-pare, dan Mandar.
 Metode Standrecht yang sering diterjemahkan tembak ditempat tanpa proses atau oleh lembaga pengadilan tinggi Belanda disebut metode hokum darurat (noodrecht) menunjukkan suatu tindakan kebiadaban dengan pembantaian massal berakibat beribu-ribu korban jiwa di Sulawesi Selatan.
3.Afdeling Bantaeng
            Tidak berbeda halnya dengan daerah-daerah di Sulawesi Selatan, di daerah Bantaeng dan sekitarnya terjadi pula aksi-aksi perlawanan terhadap NICA dan kaki tangannya. Perlawana yang dilakukan oleh para pejuang melalui wadah organisasi kelaskaran itu, baik berupa aksi-aksi sabotase, pelemparan granat, penghadangan dan penyergapan, maupun pertempuran-pertempuran merupakan reaksi perlawanan atas kehadiran NICA yang berupaya memulihkan kembali pengaruh dan kekuasaan pemerintahan colonial Belanda di daerah itu. Adapun perlawan bersenjata terhadap NICA itu, antara lain membunub kepala pos Bantaeng oleh pemuda pejuang bulan oktober 1945, penyerangan kedudukan pasukan NICA di pasanggarangan bulan desember 1945 serta penghadangan patrol KNIL di Malakaji tanggal 15 Mei 1946. Selain itu terjadi pula kontak senjata antara para pejuang dengan pasukan NICA di Bontolojang (april dan mei 1946), Arungkeke (20 mei 1946), Banyorang, Malakaji dan Kanang-kanang tahun 1946, serta aksi sabotase lainnya berupa pemutusan kawat telefon, penebangan pohon di pinggir jalan, perusakan jembatan, perampasan senjata, penangkapan terhadap mata-mata NICA, serta pembakaran kantor dan rumah aparat-aparat NICA dan kaki tangannya.
4.Afdeling Mandar
            Disertai bantuan sekutu, aparat-aparat NICA dating ke Balanipa bulan oktober 1945. Ketika mereka hendak menurunkan bendera merah putih di depan rumah kediaman ibu Depu yang juga adalah markas komando perjuangan KRIS MUDA di Tinambung tanggal 28 Oktober 1945, semangat heroic ibu depu bangkit, dan segera menuju tiang bendera itu dan memeluknya. Ibu Depu lalu menyerukan kepada rakyat untuk mempertahankan bendera merah putih dan memperingatkan dengan lantang pasukan NICA yang hendak menurunkan bendera itu, bahwa “tuan-tuan jangan coba-coba menurunkan bendera ini, dan kalau mau paksakan juag, tembaklah saya baru bisa turunkan”.Seruan ibu Depu itu, disambut secara sponta oleh rakyat dengan semangat patriotisme dan segera berdatangan ke tempat kejadian.Dalam keadaan demikian, pasukan NICA tersebut terpaksa harus mengurungkan niatnya.Kiranya mereka mengindari berhadapan langsung dengan rakyat, sehingga bendera merah putih dapat dipertahanka berkibar dengan megahnya. Gagal di Tinambung, pasukan NICA meneruskan perjalanan ke Pambusuang dan Campalagian. Di kedua daerah itu mereka berhasil menurunkan bendera merah putih yang berkibar.
            Tanggal 1 Februari 1947, pasukan Westerling bersama tentar KNIL dan polisi NICA melaksanak sapu bersig terhadap para pejuang republic di kota Majene, Baruga, Simullu, Segeri, Lembang, Tende, dan daerah-daerah sekitarnya. Aksi pembersiha itu bukan saja bertujuan menumpas mereka, tetapi juga menteror mental rakyat agar tidak membantu pejuang. Tindakak militer pasukan Belanda itu antara lain membakar rumah rakyat dan memaksa mereka berkumpul di lapangan terbuka dan digiring ke Galung Lombok disertai penganiayaan dan penembakan bagi yang berani melawan atau melarikan diri serta membawa senjata. Namun dalam perjalanan ke Galung Lombok pasuka Belanda itu di sergap dan diserang oleh lascar GAPRI 5.3.1.yang antara lain terdiri dari Onggang, Basong, Habo, Dose, Hammasa, Sulemena Kube, Suharno, dan Mariono di bawah pimpinan Harun. Pertempuran sengit terjadi antara 2 belah pihak di Talolo. 3 serdadu Belanda tewas dalam pertempuran itu yaitu van Eeuw berpangkat sersan mayor, Dickson berpangkat prajurit dan seorang lagi yang tidak diketahui namanya. Sedangkan di pihak lascar GAPRI 5.3.1 dua orang gugur sebagai kusuma bangsa, yaitu Onggang dan Sukirno.Dalam pertempuran itu, lascar GAPRI 531 berhasil merampas 1 pucuk senjata dan 1 pucuk pistol Colt otomatis berlambang kuda.
F. Makna dan Hakekat Korban 40.000 Jiwa di Sulawesi Selatan
Dari data-data sementara yang ada dan setelah melihat peristiwanya itu sendiri maka dapatlah dikemukakan bahwa makna dan hakekat korban 40.000 itu bukanlah mengandung pengertian kuantitatif yang dalam arti menghitung angka-angka, akan tetapi makna dan hakikatnya jauh dari pengertian kuantitatif tersebut yaitu yaitu korban 40.000 jiwa di Sulawesi Selatan haruslah dilihat dari segi pendekatan kualitatif yang makna dan hakekatnya bagi perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia.
            Secara politis tentunya korban 40.000 jiwa di Sulawesi Selatan merupakan suatu komsumsi yang sangat baik bagi public opini dunia internasional, terutama terhadap rakyat Belanda sendiri yang baru saja membebaskan dirinya dari penjajahan Jerman, batas tindakan yang diluar perikemanusiaan dimana rakyat Belanda sendiri.
            Akibat dari pada opini atas korban 40.000 jiwa di Sulawesi Selatan sampai perhatian dunia internasional menaruh perhatian besar sehingga mengurangi simpati terhadap Belanda dan sebaliknya semakin besar pengaruh RI di Form internasional.
            Secara Sosiologis-Kulturil maka makna dan hakekat korban 40.000 jiwa itu mengandung arti dimana angka 40 adalah bersifat magis-religieus.Khusus di Sulawesi Selatan dikenal dengan istilah “tau assalupa appaka” yang berarti orang yang paling sempurna dan tangguh.Yang bersifat religeus dan dipandang sebagai pemberani yang memiliki kesempurnaan ketahan fisik dan mental.Jika ada kematian dikenal pula dengan Bangi/allo patampullonatau matea. Bagi golongan islam patareka ada yang disebut dengan sifat-sifat yang wajib dan mustahil ALLAh jumlahnya 40 demikian pula nabbi patampulona.
            Banyak lagi hal-hal yang bersifat magies religious yang hubungannya dengan angka empat yang tentunya pada masa perjuangan mengandung arti yang sangat penting deni kepentingan perjuangan membela tanah air ibu pertiwi dalam usaha pengobaran semangat juang dan patriotisme.
            Secara historis istilah 40.000 diucapkan oleh pak kaham muzakkar pada saat beberapa anggota pasukan expedisi TRIPS ke Sulawesi Selatan kembali ke Yogyakarta akhir tahun 1947 dan melaporkan kekejaman Westerling yang mana hal tersebut diteruskan pula kepada presiden Republik Indonesia Bung Karno.
            Atas laporan kahar muzakkar kepada presiden RI bung Karno terhadap semua peristiwa di SulSel terutama tindakan Westerling dengan pasukannya maka pada saat itu pak Kahar Muzakkar dengan penuh emosi mengemukakan bahwa kenapa bapak rebut tentang korban 46 orang yang gugur di wagon kereta api barabg dari Bondowoso ke Surabaya sedangkan 40.000 orang tidak diributkan.
            Bung Karno dengan sangat terharu menerima laporan pada saat itu dengan bercucuran air mata dan segera memerintahkan untuk menyiapkan pasukan istimewa untuk di kirim ke Sulawesi Selatan dan dilatih sebagai pasukan PARA Maguwo-Yogyakarta dan pak Kahar secara rahasia di TRI Maguwo no. 10 Yogyakarta menyiapkan 35 orang perwira TRI Maguwo-Yogyakarta untuk dilatih 3 bulan antara lain Bambang Sutrisno, Yansin Bandhu dan lain-lain.
            Pada saat itulah Bung Karno mengambil alih istilah kotban 40.000 di SulSel dalam setiap mengadakan pidato-pidatonya terutama Bung Tomo dalam usaha mengobarkan semangat perlawanan putra putri Indonesia di seluruh tana air khususnya di SulSel. Jelaslah bahwa makna dan hakekat untuk bidang perjuangan adalah untuk membangkitkan semangat patriotism putra putri Indonesia dalam masa perjuangan membela dan mempertahankan Negara proklamasi 17 Agustus 1945.
            Pada kenyataannya bahwa istilah 40.000 tidak hanya dikobarkan pada masa perang kemerdekaan RI tetapi malah sampai masa konferensi pembebasan Irian Barat tetap dikumandangkan oleh presiden RI Bung Karno. Dengan demikian jelaslah bahwa makna dan hakekat korban 40.000 di SulSel bukanlah mengandung pengertian kuantitatif karena selain belum adanya statistic dan registrasi penduduk serta administrasi yang rapi, juga perjuangan di daerah pendudukan identitas para pejuang sangat merahasiakan sehingga ada kemungkinan para pahlawan yang tidak dikenal masih banyak berserakan yang tidak diketahui.
            Hal ini dapat dimungkinkan karena di Eropa sendiri yang telah memiliki administrasi, registrasi, statistic, yang rapih tetapi masih banyak monument-monumen prajurit yang tidak dikenal di mana-mana sebagai akibat perang dunia II yang lalu.
            Penentuan tanggal 11 desember 1946 sebagai hari korban 40.000 jiwa adalah karena pada saat itu pulalah peningkatan korban para pahlawan yang paling menonjol pada masa S.O.B, akan tetapi korban 40.000 sebenarnya telah terjadi jauh sebelim S.O.B diputuskan sampai saat Belanda meninggalkan bumi Indonesia khusunya di SulSel.
            Di samping itu korban 40.000 bukan hanya dilihat korban dari hasil penembakan KST/KNIL Westerlung tetapi juga yang tidak kurang jumlahnnya judtru penembakan yang dilakukan oleh pos-pos KNIL, polosi NICA dan malah pasukan Pasoso, Poke, Pangese yang tersebar di desa-desa. Belum lagi termasuk rakyat yang korban dalam suatu V.C antara KNIL-KST/KL, polisi, NICA dengan kelasykaran/TRI/ALRI dalam suatu operasi.
            Besarnya jumlah korban-korban merupakan pula suatu pencerminan adanya perlawanan yang gigih yang dilakukan oleh putra putri patriot bangsa di SulSel sebagai konsekuensi logis dari akibat suatu peperangan.Apakah korban yang ditimbulkan oleh pihak lawan maupun kawan, dan kesemuanya itu termasuk korban 40.000 di SulSel.
BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Akhirnya dapatlah kita kemukakan bahwa korban 40.000 rakyat dan pejuang di Sulawesi Selatan merupakan sebagai suatu kenyataan dan saksi sejarah atas korban yang jatuh akibat peperangan yang terjadi melawan Belanda dalam masa perang kemerdekaan, dan merupakan lambing patriotisme yang menyebabkan ribuan mayat dan tulang-tulang berserakan yang menentukan andilnya dalam perjuangan yang tidak dapat diputarbalikkan karena mereka mati untuk kita hidup guna untuk meneruskan cita-cita yang agung dari para pahlawan-pahlawan bangsa.
Dalam suatu peperangan maka fakta sejarah membuktikan akan timbulnya korban tidak hanya para pasukan dan tentara yang ikut terlibat langsung dalam peperangan, akan tetapi justru rakyatlah yang lebih besar jumlahnya yang ikut serta membantu dalam perlawanan kepada Belanda, dan hal yang sedemikian inilah maka perlawanan yang sangat gigih di Sulawesi Selatan dari kelasykaran, TRI/ALRI meminta korban jiwa yang sedemikian besarnya rakyat Sulawesi Selatan terutama pada saat dinyatakan dalam keadaan darurat perang (S.O.B) tanggal 11 desember 1946 sehingga tanggal itu pulalah dijadikan sebagai tonggak sejarah korban 40.000 rakyat dan di pejuang Sulawesi Selatan, karena sejak dinyatakan ke empat afdeling Makassar, Bonthain, Pare-Pare, dan Mandar dalam keadaan darurat perang (S.O.B) korban karena semakin meningkat jumlahnya.
Makna dan arti korban 40.000 rakyat dan pejuang Sulawesi Selatan adalah dilihat sevara kuantitatif, karena jumlah korban secara pasti sukardiketemukan karena registrasi dan administrasi pasukan dan rakyat yang gugur sangat sulit dilakukan lebih-lebih untuk daerah pedalaman di satu pihak, terutama yang jauh du gunung-gunung, sedangkan pengalaman perang dunia 2 di Eropa ternyata juga banyak pula monument-monumen berserakan bagi prajurit-prajurit yang tidak dikenal namun administrasi dan registrasi rakyat dan pasukannya sangat sempurna.
Monument korban 40.000 rakyat dan pejuang Sulawesi Selatan yang berlokasi di tempat penembakan rakyat san pejuang kalukalukuang sebagai salah satu tempat penembakan yang dilakukan oleh KST/KNIL, dimaksudkan untuk dapatnya dihayati dan diwariskan semangat pengorbanan mereka khususnya kepada generasi muda sebagai generasi pemangku dan pelanjut cita-cita luhur perjuangan bangsa yang tercermin dalam semangat kerelaan berkorban dan kebulatan tekad yang nendarah daging bagi setiap patriot bangsa yaitu “merdeka atau mati”.
Dalam menghadapai proses regenerasi yang akan dating maka penghayatan semangat rela berkorban oleh generasi muda sangat diperlukan dalam usaha mengisi kemerdekaan dengan kebulatan tekad “membangun atau hancur”.
Dengan demikian bina dan kembangkanlah nilai-nilai perjuangan 1945 dan khususnya nilai semangat pengorbanan 40.000 rakyat dan pejuang di Sulawesi Selatan itu dengan mengabdikan diri di dalam karya dengan meningkatkan prestasi kerja dan pengabdian yang sebesar-besarnya bagi pembangunan bangsa dan Negara sebagai pahlawan-pahlawan pembangunan.
B.     Saran
Kami sadar sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari kesan sempurna, hal ini dikarenakan keterbatasan sumber yang kami peroleh.Oleh karena itu, kami sangat membutuhkan saran dan kritik yang kiranya dapat membangun dan mengurangi kekurangan.Atas perhatiannya kami ucapkan terima kasih.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, asdy. H. 2007. korban 40.000 jiwa di Mandar: Yayasan Mahaputra.
…..,. 1979. SOB 11 Desember 1946 Sebagai Hari Korban 40.000. Makassar: Tim Peneliti Sejarah Perjuangan Rakyat SulSelra Kerja sama Kodam XIV Hasanuddin, UNHAS, dan IKIP Ujung Pandang.
….., 1996. Seminar Regional Sejarah Revolusi Kemerdekaan Indonesia di SulSel. Ujung Pandang: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Bekerja Sama Dengan Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional.
….., 2005 Sejarah Sulawesi Selatan Jilid II . Makassar: Pemerintah Prov. Sulsel Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah Bekerja Sama dengan Masyarakat Sejarawan Indonesia cabang Prov. Sulsel.
Arfan, Muh. Nuraedah, ST. Amir, Muhammad. 2005. Monumen Sejarah Perjuangan Bangsa di Sulsel Seri II. Makassar: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Sulsel.




           



Tidak ada komentar :

Posting Komentar